Wednesday, 25 January 2017



HOLAKRASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA
(Perdebatan Konsep Holakrasi)
Perdebatan Konsep Holakrasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap konsep baru pasti menimbulkan pro dan kontra. Holakrasi diklaim dapat meningkatkan kelincahan, efisiensi, transparasi, inovasi, dan akuntabilitas dalam sebuah organisasi.  Pendekatan ini mendorong anggota team (individu) untuk mengambil inisiatif dalam setiap proses organisasi, dan membuatnya lebih bertanggung jawab terhadap pikiran dan tindakan mereka.  Sistem kewenangan didistribusikan cenderung merata dengan mengurangi beban pemimpin daam mengambil keputusan.  Holakrasi dianalogikan sebagai suatu sistem dalam organ tubuh manusia, dimana setiap anggota organisasi mewakili setiap sel dalam tubuh.  Masing-masing memiliki peran tertentu yang saling berhubungan (Robertson, 2007).

Di satu sisi, holakrasi dianggap tidak bisa lepas seluruhnya dari hierarkhi. Keputusan tetap diturunkan dari lingkaran satu ke lingkaran yang lain dalam hierarkhi yang jelas. Lingkaran berikutnya hanya mengetahui sedikit gambaran mengenai lingkaran sebelumnya.  Selain itu, holakrasi hanya dapat berjalan pada organisasi dengan angota yang mandiri, kompeten dan inovatif dan berorientasi pada pelanggan sehingga membutuhkan kelincahan dan kecepatan beradaptasi (Moreno, 2016).
Keputusan perusahaan besar Zappos mengadopsi holakrasi menjadi titik awal timbulnya pro dan kontra dikalangan bisnis.  Perusahaan online yang terkenal dengan prestasi bisnis yang luar biasa tersebut memutuskan untuk mengadopsi sistem operasi yang mengatur ulang semua peran pekerjaan dan mendistribusikan kekuasaan secara merata ke semua karyawannya.
Transisi dari organisasi tradisional ke holakrasi tentu tidak datang tanpa tantangan.  Sejumlah kekhawatiran dikemukakan oleh banyak komentator bisnis maupun kalangan lain, diantaranya:

  1. Dalam holakrasi, lingkaran memiliki domain penuh atas keputusan, dan keputusan tersebut memungkinkan betentangan satu sama lain, baik dalam lingkaran itu sendiri maupun dengan lingkaran lain. Setiap anggota memiliki pendapatnya masing-masing, dan tidak dapat dipungkiri adanya ‘kepentingan pribadi’ di dalamnya. Holakrasi mengklaim bahwa konsep ini dapat meminimalisir kepentingan poltik, sedangkan menempatkan sekelompok orang bersama-sama pasti akan selalu melibatkan unsur politik (Croke, 2015).  Tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi holakrasi pun memiliki kemungkinan untuk terjerumus ke dalam tirani konsensus (Pisoni, 2015).
  2. Dalam suatu lingkaran, masing-masing anggota organisasi memiliki peran lebih dari satu dan berbeda-beda satu sama lain.  Hal ini memungkinkan adanya peran yang terabaikan dimana anggota organisasi hanya memprioritaskan peran yang menjadi ‘peran utama’ dan pasion mereka (Croke, 2015). 
  3. Bagi sebagian orang, bekerja tanpa manajer (boss-less) justru merupakan hal yang sulit dilakukan.  Selain menuntut kreatifitas, akuntabilitas, dan inovasi, holakrasi juga menuntut adanya persamaan persepsi untuk menghindari konflik, dan peningkatan tanggung jawab.  Masing-masing anggota organisasi harus sama-sama memiliki tanggung jawab dan good effort.  Namun kenyataannya tidak semua organisasi memiliki karyawan yang demikian. (Croke, 2015; Russo, 2014). Akibat fatal yang sangat mungkin terjadi adalah ketika team tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengelola diri sendiri (Russo, 2014.)
  4. Selama ini, holakrasi hanya diadopsi oleh perusahaan-perusahaan besar yang mengalami perkembangan pesat, sehingga masih dipertanyakan bagaimana holakrasi akan bereaksi terhadappenurunan ekonomi (Russo, 2014).
  5. Manusia pada umumnya cenderung ingin meningkatkan prediktabilitas dan meminimalisir keterkejutan atau kejadian di luar dugaan.  Jika dianalogikan, sesuatu yang tidak mungkin ketika seseorang tiba-tiba ingin membuat gedung tingkat 20 jika pondasi yang saat ini mereka buat hanyalah pondasi untuk gedung tingkat 10.  Ketika keadaan memaksa harus membuat gedung tingkat 20, maka disaat itu pula sumber daya seseorang tidak mencukupi untuk membangun ulang pondasi (Pisoni, 2015).
  6. Dalam organisasi tradisional, pertanyaan mendasar yang kerap muncul dalam proses pelaksanaan organisasi adalah ‘bagaimana cara terbaik menghadapi permasalahan?’, sedangkan dalam organisasi holakrasi, pertanyaan yang muncul jauh lebih komplek, yaitu ‘siapa yang seharusnya paling baik membuat keputusan untuk menghadapi permasalahan?’ (Pisoni, 2015).
  7. Holakrasi dianggap sebagai konsep yang ‘setengah matang’.  Holakrasi menghadapi ambiguitas dan ketidakjelasan dalam proses pengembangan ke depan, kompensasi dan penghargaan pegawai, maupun tanggung jawab setiap individu.  Sangat sulit untuk mengkordinasikan berbagai macam usaha individu dalam skala besar (Bernstein, el.al, 2016)
Dari berbagai kekhawatiran di atas, tantangan yang paling sulit bagi holakasi (seperti juga konsep lainnya) adalah kemungkinan keberlanjutannya (Russo, 2014).  Setiap model tata kelola organisasi memang memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.  Pemilihan model harus disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan tujuan organisasi sehingga dapat mencapai tujuannya secara efektif dan efisien.  Tidak pula menutup kemungkinan bagi organisasi untuk menggabungkan berbagai model organisasi yang ada.  Pemilihan model organisasi hanya satu diantara banyak faktor yang mempengaruhi kesuksesan organisasi itu sendiri.  Setidaknya, kemunculan konsep holakrasi mampu merangsang diskusi lebih lanjut tentang apakah holakrasi merupakan altenatif yang tepat dan berkelanjutan untuk merevolusi organisasi tradisional, atau hanya sebuah percobaan menarik yang tidak selalu cocok untuk setiap ‘kasus’ dalam organisasi.

Baca juga:


DAFTAR PUSTAKA
Bernstein, Ethan, John Bunch, Niko Canner, and Michael Lee. 2016. Beyond The Holacracy Hype. Diakses dari https://hbr.org/ pada 01Agustus 2016.
Croke, Brndon. 2015. What Are The Arguments Agaist Holacracy? Diakses dari https://www.quora.com/What-are-the-arguments-against-Holacracy pada 15 Agustus 2016.
Feloni, Richard. 2016. Zappos’ CEO Says This is The Biggest Misconception People Have About His Company’s Sel-Management System. Diakses dari http://www.businessinsider.co.id/zappos-ceo-tony-hsieh-on-misconception-about-holacracy-2016-2/?r=UK&IR=T#K3dAzVSq7LrJD0Gl.97 pada 15 Agustus 2016.
HolacracyOne, LCC. 2000. Holacracy: Discover A Better Way of Working. USA: HolacracyOne, LCC
HolacracyOne, LCC. 2000. Working With Holacracy. Netherlands: Westerstraat 187 1015 MA Amsterdam The Netherlands.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Moreno. 2016. Holacracy Against the Conformist Management Styles. Diakses dari http://www.templatemonster.com/blog/holacracy-against-conformist-manag ement- styles/ #2146532075.
Pisoni, Adam. 2015. Here’s Why You Should Care About Holacracy: The Leaderless Workplace Structure is Sweeping Companies Like Zappos and Medium. Diakses dari http://www.fastcompany.com/ pada 15 Agustus 2016.
Rivai, Vethzal & Basri. 2005. Peformance Appraisal: Sistem yang tepat untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia.
Robertson, 2007. Organization at The Leading Edge: Introducting Holacracy. United States.
Rudd, Olivia. 2009. Business Intelligence Success Factors: Tools for Aligning Your Business in the Global Economy. John Wiley & Sons.
Russo, Sergio. 2014. Holacracy: Pros and Cons of A Radical Challenge to The Traditional Organisation. Diakses dari http://www.hrreview.co.uk/hr-news/strategy-news/holacracy-pros-and-cons-of-a-radical-challenge-to-the-traditional-organisation/50404 pada 15 Agustus 2016.

0 komentar:

Post a Comment