Wednesday, 25 January 2017



HOLAKRASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA
(Mengenal Holakrasi)
 

Holakrasi merupakan sistem tata kelola organisasi dimana kewajiban, wewenang, dan pengambilan kebijakan didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota organisasi (Rudd, 2009).  Konsep tersebut dikembangkan oleh HolacracyOne, LCC dan telah diadopsi oleh banyak organisasi nirlaba di Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Australia, Selandia Baru, dan Swiss, seperti dalam perusahaan pendiri Twitter, Zappos, dan Amazon (Groth, 2013).

Konsep holakrasi menempatkan pegawai sebagai subjek yang bebas berkreatifitas, berinovasi, dan berekspresi dalam mengerjakan pekerjaannya, sehingga tidak mengherankan jika holakrasi kerap kali disebut dengan model creative commonsatau open sources.  Dalam konteks organisasi, konsep ini cenderung mengesampingkan adanya manajer yang dominan, pembagian tugas yang jelas, maupun struktur hierarki yang kaku. Kondisi demikian diklaim dapat menciptakan organisasi yang efisiensi, transparan, inovatif dan akuntabel (Groth, 2013).
Holakrasi dicapai melalui fleksibilitas dan kreatifitas di dalam sebuah organisasi.  Organisasi kemudian membuat team-team kecil yang terdiri dari beberapa anggota dengan tujuan tertentu.  Masing-masing team memiliki kewenangan untuk memutuskan suatu kebijakan, sekaligus merancang tindakan-tindakan strategis untuk mencapai tujuan tersebut (Groth, 2013).  Konsep tersebut tentu sangat cocok bagi anggota organisasi dengan kreatifitas dan kualitas yang tinggi.  Holakrasi menciptakan sense of belonging yang tinggi pada organisasi karena menempatkan setiap anggota sebagai subjek penting dalam organisasi tersebut.  Anggota organisasi tidak hanya dijadikan sebagai robot raksasa yang siap menerima apapun otoritas dari atasan, melainkan menjadikannya lebih demokratis.
Konsep tersebut jelas sangat berbeda bahkan dapat dikatakan sebagai anti-tesis dari konsep Max Weber (Bapak Birokrasi) tentang tata kelola organisasi, khususnya birokrasi dalam pemerintahan.  Birokrasi dicapai melalui formalisasi aturan, struktur, dan proses di dalam organisasi dengan berbagai karakteristik structural di dalamnya, yaitu (Weber, 1948 dalam Alen, 2004):

  1. Aturan, regulasi, dan prosedur yang preseden dan abstrak sebagai pedoman tindakan organisasi dalam rangka mencapai tugas dan tujuan organisasi tersebut.
  2. Spesialisasi peran anggota dalam sebuah organisasi, sehingga dapat memberikan peluang kepada masing-masing divisi pekerjaan untuk menyederhanakan aktivitas atau tugas yang rumit. Dengan memecah tugas-tugas yang rumit ke dalam aktivitas khusus dalam beberapa divisi, maka produktivitas pekerja dapat ditingkatkan.
  3. Hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu. Kekuasaan didelegasikan secara hierarki dan diekspresikan dalam istilah tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang ditetapkan melalui kontrak dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Selain itu, konsep tersebut juga menekankan sentralisasi koordinasi, komunikasi, dan kontrol.
  4. Kualitas yang dibutuhkan untuk mengisi posisi diukur berdasarkan pengakuan kredensial formal (ijazah, sertifikat, dll).  Prosedur tersebut dinilai mampu menggambarkan kemampuan tekhnik yang dimiliki, sekaligus kemampuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka. Para manajer harus mengevaluasi persyaratan pelamar kerja secara logis, dan individu yang berkualitas dapat diberikan kesempatan untuk melakukan tugasnya demi perusahaan.
  5. Kemungkinan pertukaran personil dalam menjalankan peran organisasi, sehingga aktivitas organisasi dapat diselesaikan oleh individu yang berbeda.  Hal tersebut mencerminkan bahwa aspek tugas organisasi yang relative dibandingkan aspek anggota organisasi pelaksana tugas tersebut.
  6. Impersonality dan profesionalisme dalam hubungan antar anggota organisasi. Menurut prinsipnya, anggota organisasi harus mengutamakan tujuan organisasi dibandingkan tujuan pribadi. Hal tersebut menekankan proritas terhadap tugas-tugas organisasi diatas kepentingan organisasi individu.
  7. Uraian tugas yang terperinci harus diberikan kepada semua anggota organisasi sebagai garis besar tugas formal dan tanggung jawab kerjanya. Pekerja harus mempunyai pemahaman yang jelas tentang tujuan perusahaan dari kinerja yang mereka lakukan.
  8. Rasionalitas dan predictability dalam aktivitas organisasi dan pencapaian tujuan organisasi.  Hal tersebut dianggap mampu meningkatkan stabilitas perusahaan.

 Intinya, birokrasi menekankan pentingnya pentingnya peraturan (tertulis) dalam segala hal di organisasi.  Dengan demikian, organisasi akan mempunyai pedoman dalam menjalankan tugas-tugasnya.  Disisi lain, konsep tersebut menciptakan suasana formal yang cenderung kaku dalam organisasi.
Berdasarkan penjelasan 2 (dua) konsep di atas, maka dapat dipetakan perbedaan yang signifikan antara konsep holakrasi dengan konsep birokrasi.  Secara sederhana, tabel 1 menjelaskan kedua konsep tersebut.

 HolacracyOne, LCC sebagai perusahaan pencetus konsep holakrasi menyatakan bahwa holakrasi itu sendiri mengarah pada penanaman nilai fleksibilitas dan efektivitas dalam menjalankan core processes organisasi, meliputi proses pengambilan eputusan maupun struktur organisasi.  HolacracyOne, LCC mengklaim bahwa konsep tersebut mampu mendorong meningkatnya kapasitas adaptasi suatu organisasi. Hal tersebut disebabkan karena dalam holakrasi menganut sistem dynamic steeringdalam segala proses, sehingga keputusan dapat dibuat dengan lebih cepat apabila terdapat hambatan atau masalah di luar prediksi.  Anggota dari organisasi yang menganut konsep ini akan belajar dan terbiasa dalam menghadapi berbagai situasi sulit yang datang tiba-tiba.
Konsep holakrasi dibangun bagi organisasi yang dalam prosesnya menghabiskan banyak energi untuk rapat ata pertemuan, memiliki struktur organisasi yang rigid, dan mengalami proses pengambilan keputusan yang sulit (HolacracyOne, LCC, 2000).  Maka, konsep holakrasi dibangun berdasarkan pertanyaan, seperti:

  1. Bagaimana seharusnya membuat keputusan
  2. Siapa yang seharusnya membuat keputusan?
  3. Dan bagaimana mengubah struktur organisasi dan kebijakan organisasi?
Baca juga:

DAFTAR PUSTAKA
Allen, Kieran. 2004. Max Weber: A Critical Introduction. London: Pluto Press.
Bernstein, Ethan, John Bunch, Niko Canner, and Michael Lee. 2016. Beyond The Holacracy Hype. Diakses dari https://hbr.org/ pada 01Agustus 2016.
Groth, Aimee. 2013. Zappos is Going Holacratic: No Job Titles, No manager, No Hierarchy. Quartz: Retrieved.
HolacracyOne, LCC. 2000. Holacracy: Discover A Better Way of Working. USA: HolacracyOne, LCC
HolacracyOne, LCC. 2000. Working With Holacracy. Netherlands: Westerstraat 187 1015 MA Amsterdam The Netherlands.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Rivai, Vethzal & Basri. 2005. Peformance Appraisal: Sistem yang tepat untuk Menilai Kinerja Karyawan dan Meningkatkan Daya Saing Perusahan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia.
Robertson, 2007. Organization at The Leading Edge: Introducting Holacracy. United States.
Rudd, Olivia. 2009. Business Intelligence Success Factors: Tools for Aligning Your Business in the Global Economy. John Wiley & Sons.
Sisney, Lex. 2014. An Inside Look at Holacracy. Diakses dari http://organizational physics.com pada 01Agustus 2016.
Wahyu, Reza. 2012. Kiat Sukses Manajemen Zappos. Diakses dari https://tipsmotivasi. com pada 01Agustus 2016.

0 komentar:

Post a Comment