Wednesday, 11 September 2019


APA YANG DIMAKSUD DENGAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA?

Istilah kinerja (performance) mulai dikenal seiring dengan berkembangnya paradigma New Public Management (NPM) (Dooren, Geert & John, 2015: 5). Perubahan paradigma ilmu administrasi dari Old Public Administration menjadi NPM kemudian membawa konsekuensi terhadap tuntutan reformasi birokrasi dan kualitas pelayanan publik yang semakin tinggi bagi masyarakat. Manajemen pemerintah tidak lagi berfokus pada streering (mengarahkan), melainkan rowing (mengayuh).  Dengan kata lain, penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan diserahkan kepada masyarakat melalui mekanisme pasar sebagaimana konsep reinventing government yang dicetuskan oleh Osborne & Gaebler (1993).
Dalam perkembangannya, kinerja (performance) diartikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau degree of accomplishment.  Dalam konteks ini, kinerja harus dapat menggambarkan hasil yang diraih, bukan sekedar cara kerja, proses, kemampuan, maupun perilaku individu. Adapun pencapaian hasil yang dimaksud yaitu pencapaian hasil yang diraih oleh individu (kinerja individu), kelompok (kinerja kelompok), institusi (kinerja organisasi), dan oleh suatu program atau kebijakan (kinerja program/kebijakan), sebagaimana dijelaskan berikut ini (Moeheriono, 2012: 68 - 69):
  1. Kinerja individu, menggambarkan seberapa jauh seseorang telah melaksanakan tugas-tugasnya, sehingga dapat memberikan hasil yang telah ditetapkan oleh kelompok atau institusinya;
  2. Kinerja kelompok, menggambarkan seberapa jauh suatu kelompok telah menjalankan kegiatan-kegiatan pokoknya, sehingga mencapai hasil sebagaimana telah ditetapkan oleh intitusi;
  3. Kinerja institusi, menggambarkan seberapa jauh suatu institusi telah melaksanakan semua kegiatan pokok, sehingga visi dan misi institusi dapat tercapai;
  4. Kinerja program/kebijakan, menggambarkan seberapa jauh kegiatan-kegiatan dalam program atau kebijakan telah dilaksanakan, sehingga dapat mencapai tujuan dari program dan kebijakan itu sendiri.
Dari berbagai pengertian kinerja, pada dasarnya kinerja menekankan pada apa yang dihasilkan (output) atau manfaat apa yang dikeluarkan (outcome) dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan melalui sebuah proses pengelolaan input.  Selanjutnya, untuk mengetahui sejauh mana kinerja tersebut berfungsi, diperlukan sebuah sistem pengukuran atau biasa dikenal dengan sistem pengukuran kinerja.
Sistem pengukuran kinerja merupakan sebuah proses yang sistematis untuk menilai suatu fenomena berdasarkan peraturan (Miller, 2009) untuk menentukan seberapa efektif dan efisien kinerja sektor publik (Moeheriono, 2012:77).  Hal ini senada dengan pendapat Larry D. Stout dalam Hessel Nogi (2005:174) bahwa pengukuran atau penilaian kinerja organisasi merupakan proses mencatat dan mengukur pancapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapain misi melalui hasil yang ditampilkan, baik berupa produk, jasa, maupun suatu proses.  Pengukuran kinerja akan mendorong pencapaiam tujuan organisasi dan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara berkelanjutan (Bastian, 2001:330 dalam Hessel Nogi, 2005:173).
Terdapat 2 (dua) syarat utama yang diperlukan dalam melakukan pengukuran kinerja, yaitu: (1) adanya kriteria yang dapat diukur secara objektif, dan (2) adanya objektivitas dalam poses pengukuran atau evaluasi kinerja (Gomes, 2003: 136).  Adapun secara umum, proses pengukuran kinerja terdiri dari 5 (lima) langkah sebagaimana tertuang dalam Gambar 1.
  • Prioritizing, memprioritas apa yang hendak diukur, baik berupa kinerja organisasi, program, maupun kebijakan; 
  • Indicator selection, merumuskan indikator terbaik untuk mengukur kinerja, dengan kriteria sebagai berikut (Broom, 1998; Hatry, 1999; United Way of America, 1999; Treasury, 2001 dalam Dooren, Geert & John, 2015: 69):
a.    Sensitif terhadap perubahan,
b.    Mudah didifinisikan dan tidak ambigu,
c.     Mudah dipahami oleh pengguna,
d.    Dapat didokumentasikan sehinggga dapat diakses pihak eksternal,
e.    Relevan dan dapat diimplementasikan,
f.      Memiliki jangka waktu,
g.    Memungkinkan untuk dicapai,
h.    Dilengkapi dengan definisi dan data yang memadai;
  • Data Collection, mengumpulkan data melalui berbagai metode, seperti survey, wawancara, self-assessment, observasi eksternal, pengukuran teknik, pencarian data statistik, dan lain sbagainya;
  • Analysis, proses mengubah data menjadi informasi yang mengarah pada kesimpulan akhir;
  • Reporting, melaporkan hasil pengukuran indikator kepada stakeholders yang berkepentingan (masyarakat umum, media masa, institusi internasional, instansi pemerintah lain, manajer atas, manajer tengah, dan lain sebagainya) dengan format tertentu.
Dari kelima tahap di atas, dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja mencakup 3 (tiga) aktivitas utama, yaitu: (a) pendifinisian kinerja, (b) pengukuran kinerja, dan (c) pelaporan hasil pengukuran tersebut kepada para pengambil keputusan sebagai dasar untuk mengambil kebijakan.
Selanjutnya, kualitas hasil pengukuran kinerja penting untuk diperhatikan karena berdampak pula pada kualitas keputusan atau kebijakan yang dibuat.  Idealnya, jaminan kualitas suatu organisasi dikontrol oleh auditor secara berjenjang (Gambar 2.2).  Level pertama yaitu sistem kontrol internal organisasi, memastikan dan menjamin kegiatan operasional organisasi berjalan dengan baik.  Level kedua yaitu internal audit, mengontrol proses dan manajemen resiko.  Level ketiga yaitu eksternal audit, mereviu kualitas organisasi secara mandiri.  Ketika sistem ini berjalan dengan baik, maka informasi kinerja dapat terjamin kualitasnya (Wholey, 1999). 
 
 Lebih lanjut, Dooren, Geert & John (2015: 118) dalam  bukunya Performance Management in Public Sector menjelaskan bahwa dalam praktek manajemen organisasi, hasil pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar dalam penentuan alokasi sumber daya, disamping manfaat lain, seperti akuntabilitas publik, pengembangan organisasi, pengkoordinasian aktivitas internal dan eksternal, analisis biya-manfaat,  merumuskan program prioritas, evaluasi hasil dan evektifitas, pelaporan dan monitoring, serta menentukan skema manajemen insentif (reward dan punishment).
Dooren, Geert & John (2015: 176 - 183) juga menjelaskan bahwa penggunaan hasil pengukuran kinerja setidaknya mencangkup 3 (tiga) hal, yaitu: (1) mendorong pembelajaran dan inovasi; (2) mengarahkan dan mengontrol; serta (3) membentuk akuntabilitas (Gambar 2.3).
  • Mendorong organisasi untuk terus belajar dan berinovasi (To Learn).  Hasil pengukuran kinerja dapat digunakan dalam proses evaluasi proses dan hasil (outcome) dalam kaitannya dengan perbaikan pelayanan dan kebijakan.  Dengan kata lain, hasil pengukuran kinerja menjawab pertanyaan bagaimana cara mengembangkan kebijakan dan manajemen.
  • Mengarahkan dan mengontrol (To Steering and Control). Hasil pengukuran kinerja berfungsi untuk memastikan bahwa kebijakan dan program berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
  • Akuntabilitas (To give account). Perubahan mekanisme akuntabilitas dari yang berorientasi pada aturan menjadi berorientasi hasil (outcome) menciptakan public pressure bagi organisasi publik, sehingga laporan atas hasil kinerja organisasi perlu dipublikasikan. Dengan kata lain, hasil pengukuran kinerja menjawab pertanyaan bagaimana mengkomunikasikan atau menjustifikasi kinerja organisasi dalam rangka meemperoleh kepercayaan publik.
 
 Hal tersebut senada dengan pendapat Bernard Marr (2012: 137) dalam bukunya Managing and Delivering Performance, bahwa urgensi dari pengukuran kinerja antara lain sebagai berikut:
  • Mengontrol perilaku (Controlling behavior), pengukuran menjadi dasar dalam merumuskan peraturan dan kebijakan untuk mengkontrol perilaku dan kebiasaan anggota organisasi. Pengukuran juga digunakan dalam merumuskan tujuan organisasi, proses atau langkah dalam mencapai tujuan tersebut, serta memberikan feedback dalam berbagai situasi yang menghambat pencapaian tujuan.  Dalam konteks ini, hasil pengukuran kinerja berkaitan erat dengan reward dan punishment.
  • Laporan dan pertanggungjawaban eksternal (external reporting and compliance), pengukuran digunakan untuk memberikan informasi kepada stakeholder eksternal, memenuhi peraturan pelaporan eksternal, serta memenuhi permintaan terhadap informasi publik, contoh laporan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
  • Pembelajaran dan pemberdayaan (Learning and empowerment), pengukuran memberikan informasi bagi anggota organisasi untuk belajar dan merumuskan kebijakan.  Dalam konteks ini, pengukuran berperan sebagai data penting (evidence based) dalam mendukung keputusan manajemen, memperkuat rencana strategi, serta untuk mendukung proses pembelajaran dan perberdayaan secara berkelanjutan.
 
 Selanjutnya, menurut Lynch & Cross (1993), manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sebagai berikut:
  • Memastikan kinerja organisasi sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat;
  • Memotivasi anggota organisasi untuk melakukan pelayanan yang baik bagi masyarakat;
  • Mengidentifikasi berbagai pemborosan, sekaligus mendorong upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste);
  • Membuat suatu tujuan strategis yang belum jelas menjadi lebih kongkret, sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi.
Dalam konteks organisasi publik, Moeheriono (2012: 72) menambahkan bahwa manfaat pengukuran kinerja, antara lain:
  • Pengukuran kinerja membantu pimpinan instansi pemerintah dalam menentukan tingkat pencapaian tujuan yang perlu dicapai;
  • Memberikan umpan balik bagi para pengelola dan pembuat keputusan di dalam proses evaluasi dan perumusan tindak lanjut dalam rangka peningkatan kinerja pada masa yang akan datang;
  • Menjadi alat komunikasi pimpinan, organisasi, pegawai, dan para stakehoders internal;
  • Menggerakan instansi pemerintah ke arah yang positif dalam rangka mencapai tujuan;
  • Mengidentifikasi kualitas pelayanan instansi pemerintah.
Berbagai manfaat yang telah dipaparkan pada dasarnya mengarah pada satu manfaat utama, yaitu mengubah kebiasaan (behavior) anggota organisai untuk mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Penggunaan Ukuran/Indikator Kinerja
Di banyak literatur, ukuran kinerja (performance measure) sering kali disamakan dengan indikator kinerja (performance indicator). Meskipun keduanya sama-sama merupakan kriteria pengukuran kinerja, namun terdapat perbedaan arti dan makna (Moeheriono, 2012: 32).  Bernard Marr dalam bukunya Managing and Delivering Performance (2012: 151 - 152) manyatakan bahwa penggunaan kata indikator kinerja dinilai lebih tepat dibandingkan ukuran kinerja.  Indikator kinerja ‘mengindikasikan’ level dari kinerja itu sendiri, bukan ‘mengukurnya’ secara keseluruhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat beberapa kata kunci yang menekankan pada 4 (empat) karakteristik utama indikator kinerja, yaitu:
  • Alat ukur yang digunakan untuk menentukan derajat keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya;
  • Nilai atau karakterteristik tertentu yang digunakan untuk mengukur output atau outcome suatu kegiatan;
  • Ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi;
  • Suatu informasi operasional yang berupa indikasi mengenai kinerja atau kondisi suatu fasilitas atau kelompok fasilitas.
 Werther, William B. & Keith (1996) menjelaskan bahwa ukuran/indikator kinerja digunakan oleh organisasi dan anggota organisasi untuk beberapa hal, antara lain:
  • Performance Improvement, memungkinkan manajer dan anggota organisasi untuk mengambil kebijakan terkait dengan peningkatan kinerja;
  • Compensation Adjustment, memandu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak atau tidak berhak menerima gaji dan/atau kompensasi lain;
  • Placement Dicision, sebagai dasar dalam menentukan promosi, transfer, dan penurunan pangkat anggota organisasi;
  • Training and Development Needs, sebagai dasar dalam mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi anggota organisasi agar kinerja mereka lebih optimal;
  • Career Planning and Development, sebagai dasar dalam menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai;
  • Staffing Process Deficiencies, sebagai dasar dalam proses rekruitmen anggota baru;
  • Informational Inaccuracies and Job-Design Errors, untuk mengetahui ketidaktepatan informasi dan kesalahan pekerjaan;
  • Equal Employment Opportunity, menciptakan kesempatan yang sama dalam pekerjaan;
  • External Challenges, sebagai pertimbangan dalam menghadapi tantangan-tantangan eksternal;
  • Feedback, memberikan umpan balik bagi organisasi maupun bagi anggota organisasi.
  Sedangkan Moeheriono (2012:79) menyatakan bahwa melalui penggunaan indikator kinerja, para manajer dan pengambil keputusan dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
  • Memantau apa yang sedang dilakukan;
  • Menilai apakah pekerjaan yang benar telah dilakukan;
  • Penyesuaian terhadap perubahan dika dibutuhkan;
  • Mengelola perubahan;
  • Mempertanggungjawabkan apa yang telah dicapai;
  • Meningkatkan penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat.
  Lebih lanjut, Moeheriono menambahkan bahwa menfaat penyusunan indicator kinerja, yaitu:
  • Memperbaiki kinerja;
  • Memperbaiki tingkat kepuasan pelanggan;
  • Meningkatkan akuntabilitas;
  • Mendorong produktivitas dan kreativitas;
  • Membantu proses penganggaran;
  • Mendukung rencana strategic dan membantu penyusunan tujuan;
  • Pemanfaatan sumber daya secara lebih efektif dan efisien.


DAFTAR PUSTAKA
  • Dooren, Wouter Van., Geert Bouckaert & John Halligan. 2015. Performance Management in The Public Sector, Second Edition. London and New York: Routledge-Taylor and Francis Group.
  • Gomes, Faustino Cardoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.
  • Hessel, Nogi. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
  • Lynch, Richard L. & Cross, F. 1993. Performance Measurement System, Handbook of Cost Management. Edisi Ketiga, New York.
  • Marr, Bernard. 2012. Managing and Delivering Performance: How Government, Public Sector, and Not-for-Profit Organization Can Measure and Manage What Really Matters. London and New York: Routledge-Taylor and Francis Group.
  • Miller, G.A. 2009. Wordnet. Princeton: The Trustees of Princeton University.
  • Moeheriono. 2012. Perencanaan Aplikasi dan Pengembangan Indikator Kinerja Utama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Osborne, D & Gaebler, T. 1993. Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector from Schoolhouse to State House. Reading. MA: Addison Wesley.
  • Werther, William B. & Keith Davis. 1996. Human Resources And Personal Management. International Edition. McGraw-Hiil, Inc., USA.
  • Wholey, J. S. 1999. Performance Based Management: Responding to Challenges. Public Productivity & Management Review, 19.

0 komentar:

Post a Comment