Monday 9 September 2019


HUBUNGAN INDUSTRIAL:
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
 
Sumber: Joshhr.com

A.   Pendahuluan
Hubungan industrial merupakan hubungan kompleks yang melibatkan melibatkan hubungan antara pengusaha, karyawan dan pemerintah. Hubungan perusahaan dan pekerja sangat penting untuk diperhatikan karena pada dasarnya dibutuhkan keseimbangan antara pengusaha dan pekerja agar tercipta hubungan yang harmonis antara pengusaha dan pekerja. Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa tanpa pekerja, begitu pula sebailiknya. Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 16, hubungan industrial itu sendiri didefinisikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Sayangnya, hubungan industrial di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik.  Masih banyak berbagai permasalahaan dalam hubungan industrial, khusunya yang berkaitan dengan pemenuhan kesehatan dan keselamatan kerja.  Oleh sebab itu, kajian mengenai bernagai isu terkait kesehatan dan keselamatan kerja menarik untuk dilakukan.

B. Hubungan Industrial
Hubungan industrial adalah hubugan yang ada dalam sistem produksi yang memiliki dampak pasti pada efisiensi dan produktivitas perusahaan. Dalam arti sempit, hubungan industrial mengacu pada hubungan manajemen atau yang disebut hubungan kolektif antar pekerja dan perusahaan. Sedangkan dalam arti yang lebih luas, konsep hubungan industrial juga mencakup kelembagaan pekerja, yaitu pemerintah. (S.Nehru, 2009).[1]
Hubungan industrial sangat penting dilakukan sebagai bagian dari sistem peraturan (rules system). Relasi industri adalah hubungan semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau jasa di suatu perusahaan.  Pihak yang berkepentingan dalam setiap perusahaan (stakeholders): (1) Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak manajemen; (2) Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh; (3) Supplier atau perusahaan pemasok; (4) Konsumen atau para pengguna produk/jasa; (5) Perusahaan Pengguna; (6) Masyarakat sekitar; dan (6) Pemerintah.[2]
Adapun fungsi pemerintah dalam hubungan industrial adalah (a) menetapkan kebijakan, (b) memberikan pelayanan, (c) melaksanakan pengawasan, (d) melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, dan (e) menyelenggarakan penyelesaian perselisihan/peradilan.  Sedangkan sarana hubungan industrial diantaranya adalah: (a) Serikat pekerja/serikat buruh, (b) organisasi pengusaha, (c) lembaga kerja sama Bipartit, (d) lembaga kerja sama Tripartit, (e) peraturan perusahaan, (f) Perjanjian Kerja Bersama, (g) peraturan perundang-undangan, dan (h) Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Menurut S. Nehru (2009), ada sembilan dimensi hubungan industrial, yaitu: (a) praktek hubungan industrial, (b) penyebab perselisihan, (c) metode penyelesaian sengketa, (d) gaji dan tunjangan, (e) fasilitas kesejahteraan buruh, (f) lingkungan kerja, (g) kepuasan kerja, (h) Pekerjaan, dan (i) serikat pekerja.
Hubungan industrial melibatkan pengusaha, pekerja, pemerintah dan masyarakat pada umumnya karena semua aktor tersebut mempunyai kepentingan atas keberhasilan dan kelangsungan perusahaan. Saat ini, terdapat beberapa lembaga yang berperan dalam hubungan industrial di Indonesia, diantaranya yaitu organisasi pengusaha, organisasi pekerja, lembaga bipartit dan tripartit, peraturan perusahaan, kesepakatan perundingan bersama dan lembaga penyelesaian perselisihan. Peran lembaga-lembaga tersebut sangat penting dalam meningkatkan daya saing dan produktivitas.
Prinsip hubungan industrial didasarkan pada persamaan kepentingan semua unsur atas kelansungan dan keberhasilan perusahaan. Prinsip-prinsip hubungan industrial diantaranya adalah:
  1. Pengusaha dan pekerja, serta pemerintah dan masyarakat pada umumnya, dimana semua mempunyai kepentingan atas keberhasilan dan kelangsungan perusahaan.
  2. Perusahaan merupakan sumber penghasilan banyak orang.
  3. Pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan fungsional dan masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda dalam pembagian kerja atau pembagian tugas.
  4. Pengusaha dan pekerja merupakan anggota keluarga perusahaan
  5. Tujuan pembinaan hubungan industrial adalah menciptakan ketenangan berusahan dan ketentraman bekerja. Dengan demikian dapat meningkatkan produktivitas perusahaan.
  6. Peningkatan produktivitas perusahaan harus dapat meningkatkan kesejahteraan bersama, yaitu kesejahteraan pengusaha dan pekerja.[3]
Hubungan industrial juga mengatur berbagai aspek kewajiban dan hak yang bersifat kolektif. Pada dasarnya, kolektivitas ini bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi para buruh/pekerja dalam suatu kelompok tertentu atau secara keseluruhan.[4]

C. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).  Undang-Undang tersebut menerangkan bahwa keselamatan kerja yang mempunyai ruang lingkup yang berhubungan dengan mesin, landasan tempat kerja dan lingkungan kerja, serta cara mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja, memberikan perlindungan sumber-sumber produksi sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktifitas.
Pada hakekatnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan suatu keilmuwan multidisiplin yang menerapkan upaya pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja, keamanan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, serta melindungi tenaga kerja terhadap resiko bahaya dalam melakukan pekerjaan serta mencegah terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran, peledakan atau pencemaran lingkungan kerja.
Menurut Mangkunegara (2002) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:
  1. Agar setiap pegawai/tenaga kerja mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial, dan psikologis.
  2. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya, selektif mungkin.
  3. Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
  4. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai/tenaga kerja.
  5. Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
  6. Agar tehindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.
  7. Agar setiap pegawai/tenaga kerja merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja bersifat spesifik artinya program keselamatan dan kesehatan kerja tidak bisa dibuat, ditiru, atau dikembangkan semaunya. Suatu program keselamatan dan kesehatan kerja dibuat berdasarkan kondisi dan kebutuhan nyata di tempat kerja sesuai dengan potensi bahaya sifat kegiatan, kultur, kemampuan financial, dan lainnya. Program keselamatan dan kesehatan kerja harus dirancang spesifik untuk masing-masing perusahaan sehingga tidak bisa sekedar meniru atau mengikuti arahan dan pedoman dari pihak lain. Efektifitas program keselamatan dan kesehatan kerja sangat tergantung kepada komitmen dan keterlibatan semua pekerja. Keterlibatan pekerja akan meningkatkan produktivitas. Beberapa kegiatan yang harus melibatkan pekerja antara lain (Nasution, 2005):
  1. Kegiatan pemeriksaan bahan berbahaya dan beracun dan menyusulkan rekomendasi bagi perbaikan.
  2. Mengembangkan atau memperbaiki aturan keselamatan umum. Melakukan pelatihan terhadap tenaga kerja baru.
  3. Membantu proses analisis penyebab kecelakaan kerja.
Adapun Hak-hak yang diberikan kepada karyawan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tersebut, antara lain:
  1. Mengajukan pemeriksaan
  2. Memiliki wakil yang hadir pada saat pemeriksaaan
  3. Mengidentifikasi zat-zat yang berbahaya
  4. Segera diberi tahu tentang paparan berbagai bahasa dan diberikan akses terhadap data-data yang akurat mengenai berbagai paparan tersebut
  5. Mengumumkan pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha di tempat kerja.
AOMA (American Occupational Medical Assosiation) dalam Soehatman Ramli (2010) membagi komponen penting dari program K3, yaitu:
Komponen Pokok, meliputi
  1. Pemerikasaan Kesehatan Pekerja
  2. Diagnosa dan pengobatan atau kecelakaan akibat kerja, termasuk rehabilitasinya.
  3. Pengobatan darurat dan pengobatan atas kecelakaan yang bukan akibat kerja.
  4. Pendidikan terhadap pekerja akan potensial occupational/hazard dan tindakan pencegahan dan pengetahuan akan bahaya terhadap kesehatan.
  5. Program penentuan perlunya alat-alat perlindungan diri dan pengadaannya
  6. Inspeksi berkala dan evaluasi atas lingkungan kerja untuk mengetahui apakah ada kemungkinan berbahaya terhadap kesehatan serta pencegahannya.
  7. Pemeriksaan atau studi terhadap bahan kimia yang dipergunakan yang belum mendapat pemeriksaan secara toksikologis.
  8. Studi epidemiologik untuk mengevaluasi dampak daripada lingkungan kerja.
  9. Pemerikasaan occupational health records.
  10. Imunisasi terhadap penyakit infeksi.
  11. Ikut serta dalam penentuan dan evaluasi dari ansuransi pekerja.
  12. Keikutsertaan dalam program peraturan dari perusahaan yang berhubungan dengan kesehatan.
  13. Mengevaluasi secara periodik efektivitas program kesehatan kerja yang ada
Komponen pilihan, meliputi:
  1. Penyediaan tempat pengobatan (klinik) untuk hal-hal yang sifatnya minor dan non occupational
  2. Pengobatan yang berulang-ulang dan kondisi non occupational yang diberikan oleh dokter pribadi seperti fisioterapis, suntikan yang rutin, dapat disediakan/diadakan demi mencegah hilangnya waktu kerja dan tentunya menurunkan biaya dari pekerja itu sendiri.
  3. Program bantuan terhadap pekerja bertujuan untuk membantu memecahkan masalah atau keadaan yang ada hubungannya dan dapat mempengaruhi kesehatan/kesejahteraan serta pekerjaan.
  4. Pendidikan kesehatan dan konsultasi.
Selanjutnya, prinsip dasar dari program keselamatan dan kesehatan kerja yang perlu diterapkan dalam upaya pencegahan kecelakaan, yaitu:
  1. Melakukan usaha inspeksi keselamatan kerja untuk mengidentifikasikan kondisi-kondisi yang tidak aman.
  2. Mengadakan usaha pendidikan dan pelatihan para pekerja untuk meningkatkan pengetahuan pekerja akan tugasnya sehari-hari dan cara kerja yang aman.
  3. Membuat peraturan-peraturan keselamatan kerja yang harus ditaati oleh semua pekerja.
  4. Pembinaan displin dan ketaatan terhadap semua peraturan di bidang keselamatan kerja.
D. Penutup
1.   Kesimpulan
a.  Hubungan industrial merupakan hubungan kompleks yang melibatkan melibatkan hubungan antara pengusaha, karyawan dan pemerintah. Oleh sebab itu, membangun sinergitas antar-aktor dalam hubungan industrial (pekerja, pengusaha, dan pemerintah) menjadi penting untuk dilakukan.
b.  Kesehatan dan keselamatan kerja dalam konteks hubungan industrial berarti suatu upaya pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja, keamanan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, serta melindungi tenaga kerja terhadap resiko bahaya dalam melakukan pekerjaan serta mencegah terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran, peledakan atau pencemaran lingkungan kerja.
2.   Saran

a.  Diperlukan kebijakan yang ketat, adil, dan terukur untuk memanajemen hubungan industrial di Indonesia, sehingga mempu menjembatani kepentingan berbagai stakeholder.
b.  Diperlukan pemilihan prioritas dalam pengembilan kebijakan terkait penyelesaian masalah industrial di Indonesia.  Pemilihan prioritas kebijakan didasarkan pada seberapa strategis dan signifikan dampak yang ditimbulkan jika kebijakan tersebut diambil atau tidak diambil.
c.   Diperlukan tekad dan komitmen yang kuat dari masing-masing stakeholder dalam hubungan industrial, baik pekerja, pengusaha, maupun pemerintah untuk bersama-sama membengun sinergitas yang baik dalam membangun kesehatan dan keselamatan kerja.

DAFTAR PUSTAKA
[1] S. Nehru, (2009), Industrial Relations in Co-operative Printing Presses in Tamil Nadu, Indian Journal of Industrial Relations, Vol. 45, No. 2 (October 2009), pp. 302-308. 
[2]    Mathis, R.L. & J.H. Jackson. 2006. Human Resource Management: Manajemen Sumber Daya Manusia. Terjemahan Dian Angelia. Jakarta: Salemba Empat. 
[3] Simanjuntak, Payaman, 2003, Manajemen Hubungan Industrial, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 
[4] Suwarto, 2009, Hubungan Industrial dalam Praktek, Jakarta: Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia.

0 komentar:

Post a Comment