TAHANAN
POLITIK DI INDONESIA:
PERBANDINGANNYA
DI ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI
Sumber: pngdownload.id
Tahanan politik
berasal dari dua kata, yaitu tahanan dan politik. Tahanan
berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu orang yang ditahan karena
dituduh melakukan tindak pidana atau kejahatan. Sedangkan politik
berarti pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti sistem
pemerintahan, dasar pemerintahan, dan lain sebagainya (KBBI, 2019)[1].
Jadi dapat disimpulkan bahwa tahanan politik yaitu orang yang ditahan karena di
tuduh melakukan tindak pidana atau kejahatan di bidang politik yang berhubungan
dengan ketatanegaraan atau kenegaraan.
Luqman memaknai
kejahatan politik lebih pada contoh klasik seperti kejahatan terhadap keamanan
negara, sementara Sehaper menyebutkan kejahatan politik sebagai kejahatan yang
sangat luas. Hal ini senada dengan pendapat Brody,
“A
political offense is an offense against the government itself or one that is incidental
to political uprisings. And in order to be considered as such, the crime must
be in furtherance of one side or another of a bonafide struggle for political
power.” (Barda, 1998)[2]
Lebih lanjut, Piers
Beirne dan James Messerchmidt menyebutkan kejahatan politik secara kriminologi
dapat di bedakan menjadi tiga bentuk, yaitu kejahatan politik yang ditujukan
kepada kepala negara, kejahatan politik oleh negara, dan kejahatan politik
internasional oleh negara (Kristian & Gunawan, 2015)[3].
Istilah
tahanan politik itu sendiri mulai muncul di era orde baru, dan gencar
disebutkan di banyak media masa rezim tersebut.
Berbagai sumber menyatakan bahwa di era orde baru (1968 - 1998),
penjatuhan hukuman terhadap tahanan politik tidak melalui proses persidangan
yang adil. Masyarakat yang dianggap
bertentangan dengan ideologi pemerintah pada saat itu, diasingkan ke suatu pulau
seperti Pulau Buru di Kepulauan Maluku (BBC, 2015)[4]. Mereka dipaksa berkerja keras membuka areal
hutan, membangun jalan, dan tidak jarang pula mendapatkan perlakuan kejam dari
pemerintah. Tidak hanya itu, setelah
menyelesaikan hukuman sebagai tahanan politik, para tahanan politik juga kerap mendapatkan
pandangan diskriminatif dari masyarakat. Stigma negatif tersebut membuat eks-tahanan
politik menjadi sulit berorganisasi dan mendapatkan pekerjaan di tempat asalnya
(BBC, 2015)[5]
(Suriyanto, 2015)[6].
Studi
yang dilakukan oleh Utama, dkk. (2004)[7] juga membuktikan bahwa
status eks-tahanan politik yang melekat dalam diri mereka telah mengeluarkan
mereka dari struktur sosial di masyarakat.
Dalam aspek politis, mereka kehilangan hak untuk memilih dan dipilih dalam
pemilihan umum. Mereka juga kehilangan kesempatan untuk mengambil bagian dalam
keputusan – keputusan yang menyangkut kepentingan bersama di lingkungan tempat
tinggal mereka. Dalam aspek ekonomi,
mereka hanya mempunyai peluang untuk memasuki bidang – bidang pekerjaan yang
memberikan penghasilan rendah. Sedangkan dalam aspek sosial, mereka cenderung
menyembunyikan diri untuk tidak terlibat secara intense dalam pergaulan sosial.
Kasus
besar terkait tahanan politik di era sebelum reformasi yaitu status pahlawan
revolusi Indonesia, Ir. Soekarno sebagai tahanan politik rezim Orde Baru. Konsep NASAKOM (Nasionalis,
Agama, dan Komunis) yang diyakininya sebagai tiga kekuatan utama bangsa
Indonesia, membuat Bung Karno dianggap terlibat dalam kasus G30S/PKI. Sebagai tahanan politik, rumah Bung Karno dijaga
ketat oleh petugas dengan akses yang sangat terbatas dengan dunia luar,
termasuk keluarga. Kondisi tersebut
membuat Bung Karno depresi, hingga kondisi kesehatannya semakin menurun, dan
meninggal dalam kasus sebagai tahanan politik negara (Raditya, 2018)[8].
Masa pemerintahan
Presiden BJ Habibie menjadi titik tonggak dimulainya era reformasi (1998 –
sekarang) di Indonesia. Salah satu
agenda utama reformasi adalah penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang meliputi
hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan. Dalam
agenda itulah reformasi digulirkan hingga saat ini (Kompasiana, 2015)[9]. Berbicara tentang tahanan politik di era
reformasi memang tidak terlepas dari materi tentang HAM. Tuntutan masyarakat dan dunia internasional
terhadap penegakan HAM semakin pesat seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain,
penegakan hukum (obligation to prosecute) terhadap beberapa kejahatan
serius juga menjadi kewajiban negara, sekaligus sebagai prasyarat penegakan HAM
itu sendiri.
Penggunaan istilah
tahanan politik yang familiar di zaman orde baru, kini jarang sekali
dipakai oleh aparat. Aparat cenderung
menggunakan istilah tahanan biasa bagi mereka yang melakukan kejahatan
politik. Berbeda dengan di era orde
baru, penetapan seseorang menjadi tahanan politik di era reformasi sudah
melalui proses peradilan. Dengan
demikian, baik pihak yang dituntut maupun menuntut dapat mengemukakan pendapatnya
melalui serangkaian proses hukum yang telah ditetapkan.
Saat ini,
pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk pembebasan tahanan
politik melalui grasi maupun amnesti. Banyak tahanan politik dengan dakwaan makar
dibebaskan dengan prasyarat tertentu.
Kasus pemberian amnesti yang paling sukses di masa ini adalah pemberian
amnesti di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada hampir seluruh
terpidana aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pembebasan tahanan dilakukan melalui Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki 15
Agustus 2005 antara Pemerintah RI dan wakil GAM. Kesuksesan tersebut ditandai dengan
terjaganya Provinsi Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia melalui
kebijakan otonomi khusus.
Mengacu pada
penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa konteks tahanan politik di era
orde baru mengarah pada mereka yang menghalangi jalannya kekuasan politik. Sedangkan di era reformasi, tahanan politik
mengacu pada kejahatan politik, seperti menghalangi jalannya Pemilihan Umum, mengancam
keselamatan Kepala Negara, menghina lambang negara.
REFENSI
[1] KBBI Daring Ministry of Education of
Republic Indonesia. (2019). Tahanan Politik. Accessed from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tahanan%20politik. August 29th 2019.
[2] Nawawi Arief Barda. (1998). Beberapa
Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
[3] Kristian & Yopi Gunawan. (2015). Tindak
Pidana Korupsi. Bandung: PT Refika Aditama. Page 25.
[4] BBC. (2015). Eks
tapol 1965: Lima puluh tahun menanti keadilan. Accessed from https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150925_indonesia_lapsus_ekstapol_rehabilitasi. August 29th 2019.
[5] BBC. (2015). Bertahan
di Pulau Buru -bekas tempat tahanan mereka. Accessed from https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/150925_indonesia_lapsus_catatanburu. August 29th 2019.
[6] Suriyanto.
(2015). Derita Tahanan Politik 1965: Disetrum dan Kerja Paksa. Accessed
from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150929184112-20-81669/derita-tahanan-politik-1965-disetrum-dan-kerja-paksa. August 29th 2019.
[7] Mahendra Pudji
Utama, Dwihendrosono & Dhanang Respati Puguh. (2004). Dari Kumpulan yang
Terbuang: Peristiwa G30S dan Dampaknya Menurut Perspektif Eks-Tahanan Politik
PKI di Yogyakarta. Semarang: Diponegoro University.
[8] Ismara N Raditya. (2018).
Sejarah Indonesia: Orde Baru Membunuh Sukarno Pelan-Pelan. Accessed
from https://tirto.id/orde-baru-membunuh-sukarno-pelan-pelan-cFCF. August 30th 2019.
[9] Kompasiana. (2015).
Pelaksanaan HAM pasa Masa Orde Baru dan Orde Reformasi. Accessed
from https://www.kompasiana.com/filsufkampung/550d8383a33311231e2e3be0/pelaksanaan-ham-pada-masa-orde-baru-dan-orde-reformasi. August 30th 2019.
0 komentar:
Post a Comment