Monday, 9 September 2019


TAHANAN POLITIK DI INDONESIA:

PERBANDINGANNYA DI ERA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI
Sumber: pngdownload.id
 Tahanan politik berasal dari dua kata, yaitu tahanan dan politik. Tahanan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu orang yang ditahan karena dituduh melakukan tindak pidana atau kejahatan. Sedangkan politik berarti pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan, dan lain sebagainya (KBBI, 2019)[1]. Jadi dapat disimpulkan bahwa tahanan politik yaitu orang yang ditahan karena di tuduh melakukan tindak pidana atau kejahatan di bidang politik yang berhubungan dengan ketatanegaraan atau kenegaraan.
Luqman memaknai kejahatan politik lebih pada contoh klasik seperti kejahatan terhadap keamanan negara, sementara Sehaper menyebutkan kejahatan politik sebagai kejahatan yang sangat luas. Hal ini senada dengan pendapat Brody,
“A political offense is an offense against the government itself or one that is incidental to political uprisings. And in order to be considered as such, the crime must be in furtherance of one side or another of a bonafide struggle for political power.” (Barda, 1998)[2]
Lebih lanjut, Piers Beirne dan James Messerchmidt menyebutkan kejahatan politik secara kriminologi dapat di bedakan menjadi tiga bentuk, yaitu kejahatan politik yang ditujukan kepada kepala negara, kejahatan politik oleh negara, dan kejahatan politik internasional oleh negara (Kristian & Gunawan, 2015)[3].
Istilah tahanan politik itu sendiri mulai muncul di era orde baru, dan gencar disebutkan di banyak media masa rezim tersebut.  Berbagai sumber menyatakan bahwa di era orde baru (1968 - 1998), penjatuhan hukuman terhadap tahanan politik tidak melalui proses persidangan yang adil.  Masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ideologi pemerintah pada saat itu, diasingkan ke suatu pulau seperti Pulau Buru di Kepulauan Maluku (BBC, 2015)[4].  Mereka dipaksa berkerja keras membuka areal hutan, membangun jalan, dan tidak jarang pula mendapatkan perlakuan kejam dari pemerintah.  Tidak hanya itu, setelah menyelesaikan hukuman sebagai tahanan politik, para tahanan politik juga kerap mendapatkan pandangan diskriminatif dari masyarakat. Stigma negatif tersebut membuat eks-tahanan politik menjadi sulit berorganisasi dan mendapatkan pekerjaan di tempat asalnya (BBC, 2015)[5] (Suriyanto, 2015)[6].
Studi yang dilakukan oleh Utama, dkk. (2004)[7] juga membuktikan bahwa status eks-tahanan politik yang melekat dalam diri mereka telah mengeluarkan mereka dari struktur sosial di masyarakat.  Dalam aspek politis, mereka kehilangan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Mereka juga kehilangan kesempatan untuk mengambil bagian dalam keputusan – keputusan yang menyangkut kepentingan bersama di lingkungan tempat tinggal mereka.  Dalam aspek ekonomi, mereka hanya mempunyai peluang untuk memasuki bidang – bidang pekerjaan yang memberikan penghasilan rendah. Sedangkan dalam aspek sosial, mereka cenderung menyembunyikan diri untuk tidak terlibat secara intense dalam pergaulan sosial.
Kasus besar terkait tahanan politik di era sebelum reformasi yaitu status pahlawan revolusi Indonesia, Ir. Soekarno sebagai tahanan politik rezim Orde Baru.  Konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang diyakininya sebagai tiga kekuatan utama bangsa Indonesia, membuat Bung Karno dianggap terlibat dalam kasus G30S/PKI.  Sebagai tahanan politik, rumah Bung Karno dijaga ketat oleh petugas dengan akses yang sangat terbatas dengan dunia luar, termasuk keluarga.  Kondisi tersebut membuat Bung Karno depresi, hingga kondisi kesehatannya semakin menurun, dan meninggal dalam kasus sebagai tahanan politik negara (Raditya, 2018)[8].
Masa pemerintahan Presiden BJ Habibie menjadi titik tonggak dimulainya era reformasi (1998 – sekarang) di Indonesia.  Salah satu agenda utama reformasi adalah penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan. Dalam agenda itulah reformasi digulirkan hingga saat ini (Kompasiana, 2015)[9].  Berbicara tentang tahanan politik di era reformasi memang tidak terlepas dari materi tentang HAM.  Tuntutan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan HAM semakin pesat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Di sisi lain, penegakan hukum (obligation to prosecute) terhadap beberapa kejahatan serius juga menjadi kewajiban negara, sekaligus sebagai prasyarat penegakan HAM itu sendiri.
Penggunaan istilah tahanan politik yang familiar di zaman orde baru, kini jarang sekali dipakai oleh aparat.  Aparat cenderung menggunakan istilah tahanan biasa bagi mereka yang melakukan kejahatan politik.  Berbeda dengan di era orde baru, penetapan seseorang menjadi tahanan politik di era reformasi sudah melalui proses peradilan.  Dengan demikian, baik pihak yang dituntut maupun menuntut dapat mengemukakan pendapatnya melalui serangkaian proses hukum yang telah ditetapkan.
Saat ini, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk pembebasan tahanan politik melalui grasi maupun amnesti. Banyak tahanan politik dengan dakwaan makar dibebaskan dengan prasyarat tertentu.  Kasus pemberian amnesti yang paling sukses di masa ini adalah pemberian amnesti di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada hampir seluruh terpidana aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).  Pembebasan tahanan dilakukan melalui Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 antara Pemerintah RI dan wakil GAM.  Kesuksesan tersebut ditandai dengan terjaganya Provinsi Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia melalui kebijakan otonomi khusus.
Mengacu pada penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa konteks tahanan politik di era orde baru mengarah pada mereka yang menghalangi jalannya kekuasan politik.  Sedangkan di era reformasi, tahanan politik mengacu pada kejahatan politik, seperti menghalangi jalannya Pemilihan Umum, mengancam keselamatan Kepala Negara, menghina lambang negara.

REFENSI


[1] KBBI Daring Ministry of Education of Republic Indonesia. (2019). Tahanan Politik. Accessed from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tahanan%20politik. August 29th 2019.
[2]  Nawawi Arief Barda. (1998). Beberapa Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
[3]  Kristian & Yopi Gunawan. (2015). Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT Refika Aditama. Page 25.
[4] BBC. (2015). Eks tapol 1965: Lima puluh tahun menanti keadilan. Accessed from https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150925_indonesia_lapsus_ekstapol_rehabilitasi. August 29th 2019.
[5] BBC. (2015). Bertahan di Pulau Buru -bekas tempat tahanan mereka. Accessed from https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/150925_indonesia_lapsus_catatanburu. August 29th 2019. 
[6] Suriyanto. (2015). Derita Tahanan Politik 1965: Disetrum dan Kerja Paksa. Accessed from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150929184112-20-81669/derita-tahanan-politik-1965-disetrum-dan-kerja-paksa. August 29th 2019. 
[7]  Mahendra Pudji Utama, Dwihendrosono & Dhanang Respati Puguh. (2004). Dari Kumpulan yang Terbuang: Peristiwa G30S dan Dampaknya Menurut Perspektif Eks-Tahanan Politik PKI di Yogyakarta. Semarang: Diponegoro University.
[8]  Ismara N Raditya. (2018). Sejarah Indonesia: Orde Baru Membunuh Sukarno Pelan-Pelan. Accessed from https://tirto.id/orde-baru-membunuh-sukarno-pelan-pelan-cFCF. August 30th 2019.
[9] Kompasiana. (2015). Pelaksanaan HAM pasa Masa Orde Baru dan Orde Reformasi. Accessed from https://www.kompasiana.com/filsufkampung/550d8383a33311231e2e3be0/pelaksanaan-ham-pada-masa-orde-baru-dan-orde-reformasi. August 30th 2019.

0 komentar:

Post a Comment