PERMASALAHAN MANAJEMEN KINERJA DI INDONESIA DAN UPAYA
KEMENTERIAN PAN-RB UNTUK MENGATASINYA
Oleh: Salsabila Firdausy, SIP. & Ummu
Nur Hanifah, S.I.A
Perubahan
paradigma ilmu administrasi dari Old
Public Administration menjadi New Public Management
membawa konsekuensi terhadap tuntutan reformasi birokrasi dan kualitas
pelayanan publik yang semakin tinggi bagi masyarakat. Semangat menciptakan
pemerintahan yang berorientasi hasil pun tidak hanya mengemuka di negara –
negara maju, melainkan juga di negara berkembang termasuk Indonesia. NPM
menekankan birokrasi untuk semakin professional dalam mengelola negara.
Profesionalitas itu ditunjukkan diantaranya dengan kualitas mengelola anggaran,
perbaikan manajemen kinerja, dan digunakannya ukuran-ukuran kinerja birokrasi
sebagai standar ukuran keberhasilan.
Di
berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan New Zealand, implementasi NPM merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari proses reformasi administrasi. Di Amerika
Serikat, GPRA menjadi titik balik birokrasi yang semakin professional dan
akuntabel. Di Inggris, implementasi anggaran berbasis kinerja menjadi salah
satu agenda pemerintahan. Sedangkan di New
Zealand dan Australia, birokrasi menjadi lekat dengan berbagai ukuran
keberhasilan. Beberapa praktek baik tersebut mendorong Indonesia untuk
mengadaptasi konsep ini melalui sebuah sistem yang disebut dengan Sistem
Akuntabilits Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
Manajemen
kinerja instansi pemerintah di Indonesia lahir dari semangat untuk menciptakan
instansi pemerintah yang professional, berorientasi hasil, dan akuntabel
melalui penerapan prinsip-prinsip manajemen kinerja, anggaran berbasis kinerja,
dan ukuran kinerja. Salah satu upaya untuk mewujudkannya adalah dengan
mendorong birokrasi menggunakan anggaran negara secara efektif dan efisien.
Secara efektif berarti birokrasi memastikan aktivitas yang dibiayai anggaran
negara berdaya guna dan berdampak pada target-target pembangunan. Secara
efisien berarti birokrasi harus memastikan penggunaan anggaran negara secara
bijak dan proporsional.
Dalam
praktiknya, kematangan instansi pemerintah dalam mengelola kinerja melalui
pelaksanaan sistem tersebut berbeda-beda. Kementerian PAN-RB sebagai instansi
pemerintah pusat yang bertanggungjawab mengawal kualitas implementasi manajemen
kinerja melakukan evaluasi untuk memetakan kematangan instansi pemerintah.
Evaluasi ini dilakukan kepada seluruh instansi pemerintah baik pusat maupun
daerah setiap tahunnya.
Hasil
evaluasi Kementerian PAN-RB menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan
dalam proses implementasi manajemen kinerja di Indonesia, yaitu ketidakmampuan
instansi pemerintah untuk (1) menetapkan tujuan dan sasaran strategis yang
berorientasi pada hasil; (2) menetapkan ukuran keberhasilan yang menggambarkan
derajat ketercapaian tujuan/sasaran; (3) menetapkan aktivitas (program dan
kegiatan) yang berdampak bagi pencapaian tujuan/sasaran; dan (4) menetapkan alokasi
anggaran program/kegiatan yang selaras dengan tujuan/sasaran.
Kondisi ini terlihat dari hasil evaluasi
akuntabilitas kinerja pada tahun 2016 yang menunjukkan bahwa sangat sedikit
instansi pemerintah yang mendapatkan penilaian minimal B (Baik). Penilaian B
(Baik) adalah nilai minimal bagi kematangan manajemen kinerja instansi
pemerintah. Nilai B menunjukkan bahwa instansi pemerintah telah mampu
menetapkan tujuan/sasaran secara benar, dan memilih aktivitas
(program/kegiatan) yang tepat dan efektif berdampak pada pencapaian
tujuan/saran.
Berbagai
permasalahan tersebut disebabkan karena instansi pemerintah tidak memahami
dengan baik alasan keberadaannya dan kontribusinya dalam pembangunan. Selain itu, pemahaman instansi pemerintah
terhadap konsep value for money yang
menjadi nyawa bagi anggaran berbasis kinerja sangat rendah. Instansi pemerintah
terbiasa dengan paradigma penganggaran Line
Item Budgeting yang hanya fokus membiayai input tanpa mengetahui apakah
pembiayaan input tersebut akan menghasilkan output
dan outcome yang berdampak bagi
pembangunan.
Akibat
dari berbagai permasalahan tersebut, terdapat potensi pemborosan anggaran sebesar minimal 40% dari APBN/APBD (Kementerian
PAN-RB, 2017). Potensi pemborosan anggaran terbanyak
terjadi pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Hal tersebut dikarenakan
hanya 0,421% atau 2 kabupaten/kota yang memiliki kualitas implementasi
manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja yang baik. Kabupaten/kota yang
lain sangat rendah dan memiliki potensi besar untuk salah memilih
program/kegiatan yang paling tepat berdampak bagi pembangunan.
Upaya
mendorong Manajemen Kinerja dan Anggaran Berbasis Kinerja
Melihat
besarnya dampak dari kualitas impelementasi manajemen kinerja dan anggaran
berbasis kinerja oleh instansi pemerintah yang rendah, maka Kementerian PAN-RB
melakukan beberapa upaya, antara lain:
1. Mengintensifkan
pembinaan kepada instansi pemerintah, khususnya pemerintah daerah untuk
memperbaiki kualitas manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja.
Salah satu penyebab rendahnya kualitas manajemen kinerja dan anggaran berbasis
kinerja pada instansi pemerintah adalah komitmen merubah cara kerja dan budaya
kerja birokrasi yang rendah, serta kemampuan perencanaan program/kegiatan yang kurang
baik. Oleh karena itu, pemerintah nasional berupaya merubah mindset dan cara kerja birokrasi,
sekaligus memberikan pemahaman yang baik atas perencanaan program/kegiatan. Di
Indonesia, proses perubahan mindset
dan cara kerja akan sangat efektif jika dilakukan secara top down. Hal ini mengingat pada beberapa kondisi, khususnya di
pemerintah daerah, dikotomi antara politik dan administrasi belum
terimplementasi secara ideal. Politik masih mewarnai tugas-tugas birokrasi. DIi beberapa daerah yang coraknya monarkhi
dan patriarkhi misalnya, kepala daerah sangat memiliki karisma untuk memberikan
arahan langsung pada birokrasinya.
2. Membangun
sistem informasi perencanaan, penganggaran, dan manajemen kinerja yang
terintegrasi. Salah satu penyebab utama implementasi
manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja yang rendah adalah sistem
perencanaan program/kegiatan, penganggaran, dan manajemen kinerja yang masih
terfragmentasi. Ketiga sistem ini dilaksanakan oleh tiga instansi pemerintah
pusat yang berbeda. Sistem perencanaan program dan kegiatan dilaksanakan oleh Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS); sistem penganggaran dilaksanakan
oleh Kementerian Keuangan; dan sistem manajemen kinerja dilaksanakan oleh
Kementerian PAN-RB. Untuk pemerintah daerah, ketiga sistem ini juga dikawal
oleh kemenetrian Dalam Negeri. Upaya pengintegrasian tersebut telah menghasilkan
aplikasi perencanaan, penganggaran, dan manajemen kinerja terpadu yang
diberinama KRISNA dan E-Sepakat. Sistem ini akan memudahkan instansi pemerintah
dalam merencanakan program/kegiatan, sekaligus menurunkan biaya dalam proses
perencanaan dan penganggaran.
REFERENSI
Dwiyanto, Agus. 2016. Memimpin
Perubahan di Birokrasi Pemerintah: Catatan Kritis Seorang Akademisi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Gjalt De Graaf, Leo Huberts, dan Remco Smulders. 2014. Coping with Public Value Conflicts.
Administration & Society 1-7
Mardiasmo. 2006. Perpajakan.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Wakhyudi. 2007. Akuntabilitas
Instansi Pemerintah. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Pengawasan-Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Daerah.
Keban, Yeremias T. 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali.
Yogyakarta: Gava Media.
KemenPANRB. 2018. Laporan Hasil Evaluasi Akuntabilitas Kinerja
Nasional Tahun 2017. Jakarta: KemenPANRB
BACA JUGA: "AKUNTABILITAS: MENUJU INDONESIA BERKINERJA"
BACA JUGA: "AKUNTABILITAS: MENUJU INDONESIA BERKINERJA"
0 komentar:
Post a Comment