Friday, 28 September 2018


PERMASALAHAN MANAJEMEN KINERJA DI INDONESIA DAN UPAYA KEMENTERIAN PAN-RB UNTUK MENGATASINYA
Oleh: Salsabila Firdausy, SIP. & Ummu Nur Hanifah, S.I.A

Perubahan paradigma ilmu administrasi dari Old Public Administration menjadi New Public Management membawa konsekuensi terhadap tuntutan reformasi birokrasi dan kualitas pelayanan publik yang semakin tinggi bagi masyarakat. Semangat menciptakan pemerintahan yang berorientasi hasil pun tidak hanya mengemuka di negara – negara maju, melainkan juga di negara berkembang termasuk Indonesia.  NPM menekankan birokrasi untuk semakin professional dalam mengelola negara. Profesionalitas itu ditunjukkan diantaranya dengan kualitas mengelola anggaran, perbaikan manajemen kinerja, dan digunakannya ukuran-ukuran kinerja birokrasi sebagai standar ukuran keberhasilan.
Di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan New Zealand, implementasi NPM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses reformasi administrasi. Di Amerika Serikat, GPRA menjadi titik balik birokrasi yang semakin professional dan akuntabel. Di Inggris, implementasi anggaran berbasis kinerja menjadi salah satu agenda pemerintahan. Sedangkan di New Zealand dan Australia, birokrasi menjadi lekat dengan berbagai ukuran keberhasilan. Beberapa praktek baik tersebut mendorong Indonesia untuk mengadaptasi konsep ini melalui sebuah sistem yang disebut dengan Sistem Akuntabilits Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
Manajemen kinerja instansi pemerintah di Indonesia lahir dari semangat untuk menciptakan instansi pemerintah yang professional, berorientasi hasil, dan akuntabel melalui penerapan prinsip-prinsip manajemen kinerja, anggaran berbasis kinerja, dan ukuran kinerja. Salah satu upaya untuk mewujudkannya adalah dengan mendorong birokrasi menggunakan anggaran negara secara efektif dan efisien. Secara efektif berarti birokrasi memastikan aktivitas yang dibiayai anggaran negara berdaya guna dan berdampak pada target-target pembangunan. Secara efisien berarti birokrasi harus memastikan penggunaan anggaran negara secara bijak dan proporsional.
Dalam praktiknya, kematangan instansi pemerintah dalam mengelola kinerja melalui pelaksanaan sistem tersebut berbeda-beda. Kementerian PAN-RB sebagai instansi pemerintah pusat yang bertanggungjawab mengawal kualitas implementasi manajemen kinerja melakukan evaluasi untuk memetakan kematangan instansi pemerintah. Evaluasi ini dilakukan kepada seluruh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah setiap tahunnya.
Hasil evaluasi Kementerian PAN-RB menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan dalam proses implementasi manajemen kinerja di Indonesia, yaitu ketidakmampuan instansi pemerintah untuk (1) menetapkan tujuan dan sasaran strategis yang berorientasi pada hasil; (2) menetapkan ukuran keberhasilan yang menggambarkan derajat ketercapaian tujuan/sasaran; (3) menetapkan aktivitas (program dan kegiatan) yang berdampak bagi pencapaian tujuan/sasaran; dan (4) menetapkan alokasi anggaran program/kegiatan yang selaras dengan tujuan/sasaran.
 Kondisi ini terlihat dari hasil evaluasi akuntabilitas kinerja pada tahun 2016 yang menunjukkan bahwa sangat sedikit instansi pemerintah yang mendapatkan penilaian minimal B (Baik). Penilaian B (Baik) adalah nilai minimal bagi kematangan manajemen kinerja instansi pemerintah. Nilai B menunjukkan bahwa instansi pemerintah telah mampu menetapkan tujuan/sasaran secara benar, dan memilih aktivitas (program/kegiatan) yang tepat dan efektif berdampak pada pencapaian tujuan/saran. 
Berbagai permasalahan tersebut disebabkan karena instansi pemerintah tidak memahami dengan baik alasan keberadaannya dan kontribusinya dalam pembangunan.  Selain itu, pemahaman instansi pemerintah terhadap konsep value for money yang menjadi nyawa bagi anggaran berbasis kinerja sangat rendah. Instansi pemerintah terbiasa dengan paradigma penganggaran Line Item Budgeting yang hanya fokus membiayai input tanpa mengetahui apakah pembiayaan input tersebut akan menghasilkan output dan outcome yang berdampak bagi pembangunan.
Akibat dari berbagai permasalahan tersebut, terdapat potensi pemborosan anggaran sebesar minimal 40% dari APBN/APBD (Kementerian PAN-RB, 2017). Potensi pemborosan anggaran terbanyak terjadi pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Hal tersebut dikarenakan hanya 0,421% atau 2 kabupaten/kota yang memiliki kualitas implementasi manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja yang baik. Kabupaten/kota yang lain sangat rendah dan memiliki potensi besar untuk salah memilih program/kegiatan yang paling tepat berdampak bagi pembangunan.

Upaya mendorong Manajemen Kinerja dan Anggaran Berbasis Kinerja
Melihat besarnya dampak dari kualitas impelementasi manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja oleh instansi pemerintah yang rendah, maka Kementerian PAN-RB melakukan beberapa upaya, antara lain:
1. Mengintensifkan pembinaan kepada instansi pemerintah, khususnya pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja. Salah satu penyebab rendahnya kualitas manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja pada instansi pemerintah adalah komitmen merubah cara kerja dan budaya kerja birokrasi yang rendah, serta kemampuan perencanaan program/kegiatan yang kurang baik. Oleh karena itu, pemerintah nasional berupaya merubah mindset dan cara kerja birokrasi, sekaligus memberikan pemahaman yang baik atas perencanaan program/kegiatan. Di Indonesia, proses perubahan mindset dan cara kerja akan sangat efektif jika dilakukan secara top down. Hal ini mengingat pada beberapa kondisi, khususnya di pemerintah daerah, dikotomi antara politik dan administrasi belum terimplementasi secara ideal. Politik masih mewarnai tugas-tugas birokrasi.  DIi beberapa daerah yang coraknya monarkhi dan patriarkhi misalnya, kepala daerah sangat memiliki karisma untuk memberikan arahan langsung pada birokrasinya.
2. Membangun sistem informasi perencanaan, penganggaran, dan manajemen kinerja yang terintegrasi. Salah satu penyebab utama implementasi manajemen kinerja dan anggaran berbasis kinerja yang rendah adalah sistem perencanaan program/kegiatan, penganggaran, dan manajemen kinerja yang masih terfragmentasi. Ketiga sistem ini dilaksanakan oleh tiga instansi pemerintah pusat yang berbeda. Sistem perencanaan program dan kegiatan dilaksanakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS); sistem penganggaran dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan; dan sistem manajemen kinerja dilaksanakan oleh Kementerian PAN-RB. Untuk pemerintah daerah, ketiga sistem ini juga dikawal oleh kemenetrian Dalam Negeri. Upaya pengintegrasian tersebut telah menghasilkan aplikasi perencanaan, penganggaran, dan manajemen kinerja terpadu yang diberinama KRISNA dan E-Sepakat. Sistem ini akan memudahkan instansi pemerintah dalam merencanakan program/kegiatan, sekaligus menurunkan biaya dalam proses perencanaan dan penganggaran.

REFERENSI
Dwiyanto, Agus. 2016. Memimpin Perubahan di Birokrasi Pemerintah: Catatan Kritis Seorang Akademisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Gjalt De Graaf, Leo Huberts, dan Remco Smulders. 2014. Coping with Public Value Conflicts. Administration & Society 1-7
Mardiasmo. 2006. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Wakhyudi. 2007. Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan-Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Daerah.
Keban, Yeremias T. 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gava Media.
KemenPANRB. 2018. Laporan Hasil Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Nasional Tahun 2017. Jakarta: KemenPANRB


BACA JUGA: "AKUNTABILITAS: MENUJU INDONESIA BERKINERJA"
 

0 komentar:

Post a Comment