KONSEP DASAR DISTRIBUSI DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI DI INDONESIA
Sumber: Pixabay
A. PENDAHULUAN
Human resource atau Sumber Daya Manusia
(SDM) merupakan ujung tombak pergerakan reformasi birokrasi. Sebagai penggerak
atau pihak yang menyelenggarakan nya, tentu Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak
terlepas dari implementasi reformasi birokrasi di Indonesia. Reform ASN adalah
salah satu upaya pemerintah dalam membangun birokrasi yang dicita-citakan.
Sesuai dengan Grand Design Reformasi
Birokrasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010, visi
reformasi birokrasi yaitu “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”. Di penghujung
tahap Rencana Pemerintah Jangka Menengah ke-4 (2020-2024), perencanaan dan
pengimplementasian harus diatur sedemikian rupa agar visi reformasi birokrasi
yang disebutkan dalam Grand Design
dapat tercapai. Untuk mencapai birokrasi berkelas dunia, dibutuhkan pula ASN
yang dapat menunjang visi tersebut.
Semakin
banyak jumlah penduduk, beban kerja dan kompleksitas pelayanan akan bertambah.
Diperlukan penghitungan kebutuhan PNS secara nasional, baik dari sisi jumlah
(kuantitas), kriteria (kualifikasi), dan kompetensi (kualitas). Hal ini untuk
mewujudkan kesesuaian kebutuhan PNS disetiap instansi pemerintah agar pelayanan
publik lebih efektif. Berbagai kajian tentang manajemen PNS terkait jumlah dan
formasi kebutuhan PNS selalu membuktikan bahwa salah satu penyebab inefisiensi
penyelenggaraan pemerintahan karena alokasi/distribusi PNS yang tidak merata,
dan tidak terpenuhinya kualitas jabatan dengan kompetensi PNS. Terdapat jumlah
PNS yang lebih di satu instansi, sementara di lain instansi kekurangan pegawai.
Pemerintah secara matematis belum mempunyai perhitungan past terkait kebutuhan
riil PNS nasional untuk melayani penduduk Indonesia. Tidak adanya peta kebutuhan PNS dalam jangka
waktu tertentu 5, 10, atau 20 tahun kedepan, membuktikan tidak adanya
perencanaan kebutuhan PNS.
Salah
satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah dengan program rasionalisasi pegawai, yang di dalamnya mencakup
distribusi dan redistribusi pegawai. Distribusi itu sendiri merupakan penempatan pegawai sesuai kebutuhan
riil dilihat dari aspek kuantitas, kualitas, komposisi, dan kualifikasi untuk
mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi pemerintah. Selanjutnya, untuk menciptakan rasionalisasi
PNS perlu redistribusi dengan pemetaan pada aspek organisasi, kompetensi dan
kinerja pegawai, tempat/wilayah dan beban kerja, serta jumlah penduduk sebagai
obyek pelayanan publik. Upaya rasionalisasi
tersebut dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dan
menciptakan kesesuaian antara pegawai, baik secara kuantitas, kualifikasi,
maupun kualitas dengan jenis dan beban pekerjaan. Artikel ini mencoba memberikan gambaran konsep
distribusi dan redistribusi pegawai, beberapa faktor yang perlu diperhatikan
dalam implementasinya, serta mekanisme distribusi dan redistribusi pegawai itu
sendiri.
B. DISTRIBUSI
DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI
Terdapat
beberapa ahli yang mendefinisikan pengertian distribusi dan redistribusi, namun
masih dalam konteks aktivitas ekonomi. Menurut
Philip Kotler (1997), distribusi merupakan sekumpulan organisasi yang membuat
sebuah proses kegiatan penyaluran suatu barang atau jasa siap untuk di pakai
atau di konsumsi oleh para konsumen (pembeli).
Alma (2007) menambahkan, distribusi merupakan sekumpulan lembaga yang
saling terhubung antara satu dengan lainnya untuk melakukan kegiatan penyaluran
barang atau jasa sehingga tersedia untuk dipergunakan oleh para konsumen
(pembeli). Jadi dapat disimpulkan bahwa distribusi
merupakan suatu kegiatan atau suatu proses penyaluran barang atau jasa dari
satu atau kumpulan organisasi produsen kepada konsumen. Jika dikaitkan dalam
konteks pemerintah, maka yang dimaksud dengan distribusi pegawai adalah suatu
proses pemindahan Sumber Daya Manusia atau Pegawai dari lembaga satu ke lembaga
lainnya, sehingga pelayanan publik kepada masyarakat dapat tersalurkan secara
efektif dan efisien.
Redistribusi
pegawai pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses
distribusi pegawai. Sahlin (1976)
mendefinisikan redistribusi sebagai pooling,
perpindahan barang dan jasa yang tersentralisasi, yang melibatkan proses
pengumpulan kembali dari anggota-anggota suatu kelompok melalui pusat, kepada
dan pembagian kembali kepada anggota-anggota kelompok tersebut. Dalam konteks pemerintahan, redistribusi
pegawai berarti pemindahan Sumber Daya Manusia atau pegawai dari satu lembaga
ke lembaga lain dengan pertimbangan – pertimbangan tertentu.
Kebijakan
distribusi pegawai semakin diperhatikan sejak dikeluarkannya UU No.23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Pegawai. Peningkatan nilai belanja PNS dari tahun 2009
hingga 2013 naik sebesar 13,7 persen. Berdasarkan data yang dihimpun
Kementerian PAN RB, terdapat 58 kabupaten/kota yang mengalokasikan anggarannya
lebih dari 50 persen untuk biaya pegawai.[1] Oleh karena itu,
diperlukan redistribusi pegawai untuk menyeimbangkan belanja pegawai tersebut.
Salah
satu program nasional reformasi birokrasi nasional adalah penataan jumlah,
distribusi dan kualitas Pegawai Negeri Sipil. Melalui penataan pegawai akan
memudahkan perencanaan pegawai, yang meliputi rekrutmen, penempatan,
pengembangan, pemeliharaan, dan pemberhentian. Berikut ini adalah konsep
penataan pegawai.
Distribusi
pegawai dapat dilakukan dengan melakukan analis beban kerja dan analis jabatan.
Output yang dihasilkan dari penataan ini berupa: (1) Profil jabatan bagi setiap
jabatan; (2) Perkiraan beban kerja untuk masing-masing individu, jabatan dan
unit kerja; (3) Jumlah kebutuhan pegawai per jabatan dan unit kerja.
Di negara – negara
maju seperti Inggris, pemerintah dapat
melaporkan kekurangan stafnya karena ketidakmampuannya mempertahankan jumlah
yang cukup, atau karena kendala keuangan yang disebabkan oleh faktor eksternal,
seperti adanya perubahan struktural. Terdapat jumlah staf yang berlebih di
daerah perkotaan, sedangkan di daerah yang miskin dan terpencil masih
kekurangan staf (Ghana, India, Bangladesh, dan banyak negara miskin). Di sektor
swasta, sebagian besar pasar yang menentukan dimana orang bekerja. Dalam sektor
publik, kondisi pasar dapat mempengaruhi pegawai jika mereka menambah
penghasilan mereka dengan membuka praktik pribadi. Beberapa negara mengatasi
kekurangan staf dengan cara menempatkan para lulusan baru ke daerah pedesaan
sebagai sistem ikatan dinas (misalnya layanan masyarakat di Afrika Selatan atau
dokter muda di India. Akan tetapi, kurangnya pengalaman staf ini menjadikan
kerjanya tidak efektif, dan menyebabkan tingginya perputaran staf karena mereka
cenderung hanya menghabiskan jumlah waktu minimum di daerah tersebut.[2]
C. PENTINGNYA
DISTRIBUSI DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI
Isu
distribusi dan redistribusi pegawai di Indonesia menjadi isu penting karena dampaknya
yang luas bagi manajemen kinerja di Indonesia.
Pentingnya distribusi dan redistribusi pegawai disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, pertumbuhan jumlah PNS
Pusat dan Daerah yang tidak merata. Distribusi PNS dari 4.455.303 orang,
sebanyak 939.995 atau 21 %, bekerja di instansi Pusat dan Kantor Perwakilan,
sedangkan 3.586.715 atau 79 % bekerja di instansi Daerah. Komposisi ini
menunjukkan perbandingan kurang baik, mengingat jumlah PNS yang bekerja di
instansi pusat jumlahnya masih cukup besar yakni mencapai 21 %. Seharusnya di
instansi pusat cukup 10 % mengingat tugas fungsinya hanya sebagai pengendali
kebijakan, sedangkan tugas utama pelayanan publik ada di instansi daerah.
Gambar 2 menunjukkan adanya peningkatan
pertumbuhan jumlah pegawai, baik di level pusat maupun di level daerah. Lebih lanjut, gambar 3 membuktikan bahwa
meskipun sebagian besar pegawai merupakan kelompok pegawai daerah, namun jumlah
pegawai di level pusat terus mengalami peningkatan.
Kedua, rasio jumlah PNS dan
jumlah penduduk yang tidak merata. Rasio
jumlah PNS terhadap jumlah penduduk saat ini 1,7 %, dimana setiap 100 orang
penduduk dilayani oleh 1,7 pegawai (Kementerian PAN dan RB). Hal ini tidak
sebanding antara jumlah PNS dan jumlah penduduk dengan negara-negara lain
seperti Malaysia, Brunai, Singapura, dan lain sebagainya. Berdasarkan data Bank
Dunia tahun 2013, rasio jumlah PNS Indonesia terhadap penduduk masih di bawah
angka 2 %, yakni 1,7 persen, hal ini tidak sejalan dibanding sejumlah negara
tetangga di kawasan Asia Tenggara seperti rasio PNS di Singapura 2,5 persen
sedang Malaysia sekitar 3,7 persen (Badan Kepegawaian Negara, 2016).
Ketiga, komposisi jumlah pegawai
yang tidak merata antar-daerah. Sejak
pemberlakuan otonomi daerah yang luas, kewenangan mengatur pegawai negeri sudah
diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
Akibatnya, terdapat beberapa daerah yang kelebihan jumlah pegawai, dan
di sisi lain terdapat beberapa daerah yang kekurangan jumlah pegawai. Proses redistribusi pegawai dari daerah yang
kelebihan pegawai ke daerah yang kekurangan pegawai perlu dilakukan, dengan
tetap memperhatikan kepadatan penduduk tiap daerah, jumlah urusan yang harus
dijalankan, luas wilayah, serta potensi dan kemampuan keuangan tiap-tiap
daerah. Besarnya jumlah pegawai yang
tidak disertai dengan kinerja yang baik selanjutnya berdampak pada pemborosan
belanja pegawai.
Pada 2016, setiap PNS di daerah (berstatus PNS Provinsi dan Kabupaten/Kota) rata-rata bertanggung jawab untuk melayani 47 penduduk. Namun, untuk PNS yang berada di Banten, setiap orangnya harus melayani 159 penduduk. Rasio di Jawa Barat dan DKI Jakarta pun cukup besar, yaitu 1:142, artinya setiap PNS bertanggung jawab untuk melayani 142 penduduk. Di sisi lain, rasio PNS terhadap jumlah penduduk di Riau menunjukkan perbandingan 1:23 pada 2016. Begitu pula di Papua Barat, satu PNS bertanggung jawab melayani hanya 24 penduduk. Ketidakseimbangan rasio ini menjadi indikasi lemahnya perencanaan kebutuhan PNS per wilayah/instansi yang akhirnya akan berujung pada rendahnya mutu layanan kepada masyarakat. Lemahnya perencanaan kebutuhan dan distribusi tenaga PNS, terlihat dari proporsi jumlah pegawai berdasarkan jenis kepegawaian.
Pada 2016, setiap PNS di daerah (berstatus PNS Provinsi dan Kabupaten/Kota) rata-rata bertanggung jawab untuk melayani 47 penduduk. Namun, untuk PNS yang berada di Banten, setiap orangnya harus melayani 159 penduduk. Rasio di Jawa Barat dan DKI Jakarta pun cukup besar, yaitu 1:142, artinya setiap PNS bertanggung jawab untuk melayani 142 penduduk. Di sisi lain, rasio PNS terhadap jumlah penduduk di Riau menunjukkan perbandingan 1:23 pada 2016. Begitu pula di Papua Barat, satu PNS bertanggung jawab melayani hanya 24 penduduk. Ketidakseimbangan rasio ini menjadi indikasi lemahnya perencanaan kebutuhan PNS per wilayah/instansi yang akhirnya akan berujung pada rendahnya mutu layanan kepada masyarakat. Lemahnya perencanaan kebutuhan dan distribusi tenaga PNS, terlihat dari proporsi jumlah pegawai berdasarkan jenis kepegawaian.
Kelima, pengeluaran belanja
pegawai yang besar, tidak disertai dengan peningkatan Government Effectiveness Index. Dari
seluruh pengeluaran negara, tanggungan terbesar adalah pada belanja pegawai,
melebihi belanja modal dan belanja barang/jasa.
Meskipun jumlah pegawai menunjukan tren yang menurun, namun faktanya
dari tahun ke tahun pengeluaran belanja pegawa cenderung mengalami peningkatan.
Pada 2014, proporsi belanja pegawai pusat terhadap realisasi belanja sebesar
20,4 persen, demikian juga di 2015 sebesar 24 persen, bahkan pada 2016 mencapai
31,3 persen. Gendutnya anggaran belanja
pegawai bisa membuat terhambatnya pembangunan infrastruktur.
Tingginya
belanja pegawai yang dibebankan pada anggaran negara dan daerah sayangnya tidak
memberikan dampak yang signifikan terhadap Government
Effectiveness Index Indonesia. Bank
Indonesia dalam laporannya yaitu The
Worldwide Governance Indicators Reports menyatakan bahwa nilai
rata-rata indikator efektivitas pemerintahan (Government Effectiveness)
Indonesia masuk dalam kategori rendah. Pada 2010, skor Indonesia sebesar -0,20
dan menurun menjadi -0.22 di 2015. Di tingkat ASEAN, pada 2015, skor Indonesia
masih kalah jauh dengan Singapura (2,3), Malaysia (1,0), Thailand (0,36) dan
Vietnam (0,08).
Keenam, upaya distribusi dan
redistribusi pegawai juga menjadi prospek yang
baik bagi pemerintah, khususnya terkait dengan pengembangan karir dan kejelasan
career accountability. Berkaitan dengan hal tersebut, Parsons dan
Smelser (1956) menggunakan skema AGIL untuk menggambarkan manfaat distribusi
dan redistribusi pegawai, yaitu adaptasi (A), pencapaian tujuan (G), integrasi
(I) dan pola pemeliharaan dan sistem manajemen talenta (L).
D. FAKTOR-FAKTOR
YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM DISTRIBUSI DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI
Beberapa
faktor yang perlu diperhatikan dalam distribusi dan redistribusi pegawai,
antara lain sebagai berikut.
1. Motivasi
Pegawai
Peningkatan fungsi manajemen
sumber daya manusia di sektor publik merupakan proses yang berkembang secara
berkelanjutan. Masyarakat membutuhkan kerja pejabat publik yang efektif dalam
memberikan layanan publik. Dibandingkan dengan sektor swasta, efisiensi di
sektor pulik dapat dikatakan lebih rendah. Efisiensi tersebut tidak hanya
bergantung pada pendidikan, kompetensi dan kemampuan pejabat publik, tetapi
sistem motivasi sumber daya manusia memiliki dampak yang signifikan terhadap
efektivitas kerja pejabat publik.
Banyak ahli sepakat bahwa
salah satu dimensi yang paling penting di sektor publik adalah motivasi pegawai
sektor publik. Padersen (2013) berpendapat bahwa motivasi di sektor publik
terkait dengan kegiatan pekerja sektor publik, kegiatan dan tanggung jawab
organisasi. Padersen menyimpulkan berbagai faktor yang mempengaruhi motivasi
pekerja sektor publik, yaitu:
a.
Faktor material:
upah, bonus, alokasi, pembayaran sesuai prosedur pemerintahan.
b.
Recognition factor: ucapan terima kasih, penghargaan negara, wewenang lebih banyak,
keterlibatan dalam pengambilan keputusan, peluang karir.
c.
Faktor aktualisasi
diri: peluang untuk meningkatkan kemampuan secara terus menerus (pelatihan,
kursus peningkatan kualifikasi, rotasi, magang)
d.
Faktor sosial:
lingkungan psikologis yang baik, gaya kepemimpinan yang sesuai, waktu luang
atau acara hiburan, perhatian manajer, kerjasama dalam organisasi
e.
Faktor keamanan:
kondisi kerja yang sesuai, jaminan sosial, asuransi.[3]
2.
Kepuasan kerja dan Kesetiaan Pegawai
Organisasi sektor
publik saat ini telah menunjukkan peningkatan minat dalam manajemen sumber daya
manusia, seperti manajemen kinerja, tunjangan kinerja, evaluasi pegawai, dan
kepuasan pegawai. Kepuasan pegawai dapat diartikan sebagai perasaan keseluruhan
tentang pekerjaan, atau seperangkat sikap terkait tentang berbagai aspek
pekerjaan (Spector, dalam Turkyilmaz, 2011). Kepuasaan pegawai merupakan aspek
penting yang mampu memberikan gambaran bentuk pemikiran pegawai tentang
pekerjaan dan tempat kerja mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ali
Turkyilmaz, dkk (2011), faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan antara
lain sebagai berikut:
a. Pemberdayaan
dan partisipasi;
b. Kondisi
lingkungan kerja;
c. Penghargaan
dan pengakuan;
d. Kerja
tim; dan
e. Pelatihan
dan pengembangan individu.
Menurut Allen dan Grisaffe (dalam
Turkyilmaz, dkk, 2011), kesetiaan adalah keadaan psikologis hubungan karyawan
dengan organisasi tempat mereka bekerja dan berimplikasi pada keputusan mereka
untuk tetap bersama organisasi. Kesetiaan pegawai berarti keterikatan seorang
pegawai terhadap organisasi yang dapat dianggap sebagai respon emosional,
terutama ketika seorang pegawai sangat meyakini tujuan dan nilai organisasi dan
memiliki keinginan kuat untuk terus bergabung dengan organisasi tempat bekerja.
Kesetiaan bisa didefinisikan sebagai keinginan yang kuat untuk mempertahankan
anggota suatu organisasi, menerima dan meyakini nilai dan tujuan organisasi.
Dengan demikian, kesetiaan dicirikan oleh keinginan yang kuat untuk melanjutkan
keanggotaan suatu organisasi dan terlibat aktif dalam organisasi tersebut. Berdasarkan
studi empiris, loyalitas karyawan berkembang dari kepuasan kerja. Kepuasan
kerja karyawan memiliki dampak positif terhadap loyalitas pegawai terhadap
organisasi (Fletcher dan Williams, 1996). Kepuasan kerja yang rendah
menyebabkan loyalitas pegawai terhadap organisasi menjadi rendah, dan
meningkatkan perputaran pekerjaan. Pegawai yang puas dengan pekerjaannya
mempunyai loyalitas lebih tinggi daripada pegawai dengan kepuasan kerja yang
rendah. Hubungan positif antara kepuasan kerja terhadap kesetiaan pegawai dapat
dilihat dari gambar berikut ini:[4]
3.
Kompetensi Pegawai
Turner dan
Crawford, 1994 (dalam Rama, 2016), mengklasifikasikan kompetensi menjadi dua
kategori, yaitu kompetensi karyawan dan kompetensi organisasi. Kompetensi
karyawan adalah karakteristik atau ciri-ciri seorang karyawan, seperti
pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kepribadian yang membedakan mereka
dengan orang lain. Sedangkan kompetensi organisasi adalah apa yang tertanam
dalam sistem dan struktur organisasi yang ada di dalam organsiasi. Sejumlah
kompetensi penting untuk meningkatkan kinerja dan efektivitas organisasi.
Hellriegel and Slocum (2011), menggambarkan tujuh kompetensi utama yang
mempengaruhi perilaku individu dan efektivitas organisasi, yaitu: (1) etika
karyawan; (2) kompetensi diri; (3) kompetensi keragaman; (4) kompetensi lintas
budaya; (5) kompetensi komunikasi; (6) tim kompetensi; dan (7) perubahan
kompetensi.[5] Kompetensi pegawai perlu
diperhatikan dalam distribusi pegawai karena harus disesuaikan dengan kebutuhan
organisasi. Distribusi dan redistribusi pegawai berdasarkan kompetensi sesuai
dengan filosofi “The Right Man on the
Right Place”, yaitu menempatkan pegawai pada jabatan yang tepat.
4.
Jumlah
Penduduk
Untuk memberikan pelayanan masyarakat (public service) yang profesional, dibutuhkan
perbandingan obyektif (rasional) antara jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dengan jumlah penduduk sebagai obyek pelayanan. Rasionalisasi PNS dengan jumlah
penduduk dilaksanakan guna menciptakan distribusi PNS dan pelayanan publik yang
lebih proporsional. Jumlah PNS harus proporsional dengan populasi penduduk dan
kemampuan keuangan negara, disisi lain kuantitas memerlukan jumlah PNS yang
proporsional dengan memperhatikan jumlah penduduk.
5.
Kompleksitas
Pelayanan
Kompleksitas pelayanan publik yang
dibutuhkan masyarakat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif semakin meningkat
tiap harinya. Disamping dibutuhkan
pegawai yang professional dan berkompeten, dibutuhkan pula jumlah pegawai yang
memadai untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Secara umum, semakin kompleks pelayanan yang diberikan, semakin banyak
pula pegawai yang dibutuhkan. Oleh sebab
itu, faktor kompleksitas pelayanan menjadi salah satu faktor penting dalam
proses distribusi dan redistribusi pegawai.
E. MEKANISME
DALAM DISTRIBUSI DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI
Proses
distribusi dan redistribusi pegawai merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari proses perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) organisasi. Perencanaan SDM
itu sendiri adalah proses untuk mengembangkan keselarasan antara strategi
organisasi dengan orang-orang yang akan dipekerjakannya, yang diawali dengan
proses rekruitmen. Rekruitmen dilaksanakan
untuk menarik orang-orang yang mempunyai kualifikasi terbaik untuk melamar
pekerjaan dan juga untuk memotivasi orang untuk memenuhi misi organisasi. Proses
rekrutmen diakhiri dengan mendapatkan orang yang mempunyai kualitas sesuai
kualifikasi.
Perencanaan
SDM merupakan bagian awal proses rekrutmen yang penting untuk mengidentifikasi
perbedaan antara angka perkiraan dan angka riil. Perencanaan dan perekrutan
dibagi menjadi dua kategori, yaitu (1) indikator tentang jabatan dan kebutuhan
pegawai untuk tiap jabatan, serta (2) indikator tentang aktivitas. Tabel 1
menyajikan indikator pertama dari perencanaan dan perekrutan SDM.
Sedangkan indikator kedua yaitu tentang aktivitas pekerjaan, harus berisi informasi tentang pengeluaran dalam kegiatan ini dan perhitungan perbedaan biaya, seperti:
Sedangkan indikator kedua yaitu tentang aktivitas pekerjaan, harus berisi informasi tentang pengeluaran dalam kegiatan ini dan perhitungan perbedaan biaya, seperti:
1.
Total biaya
aktivitas
2.
Jumlah karyawan
3.
Gaji karyawan
4.
Gaji rata-rata
5.
Jumlah wawancara
6.
Jumlah rekruitmen
7.
Biaya rata-rata
untuk perekrutan (total biaya aktivitas / jumlah perekrutan)
8.
Tingkat cakupan
personil yang diperlukan
9.
Jumlah pegawai
yang tidak sesuai dengan kualifikasi jabatan[6]
Berkaitan dengan kebijakan distribusi
dan redistribusi pegawai, pemerintah melalui Kementerian PAN-RB pada dasarnya
telah merumuskan beberapa tahapannya, antara lain:
1.
Audit organisasi, untuk
mengetahui instansi mana yang efisien dipertahankan, kurang efisien digabung,
dan tidak efisien dibubarkan, sehingga diperoleh data kebutuhan PNS;
2.
Pemetaan kompetensi,
kualifikasi, dan kinerja pegawai, untuk mengetahui tingkatan kompetensi,
kualifikasi, kinerja masing-masing PNS;
3.
Menyusun dan menetapkan
peta kuadran (1, 2, 3, 4), tujuannya untuk membedakan tingkat kompetensi,
kualifikasi, kinerja masing-masing PNS;
4.
Mengisi data PNS pada
masing-masing kuadran dengan kriteria; kuadran 1 PNS kompeten dan kualifikasi
sesuai; kuadran 2 PNS kompeten namun kualifikasi tidak sesuai; kuadran 3 PNS
tidak kompeten namun kualifikasi sesuai; kuadran 4 PNS tidak kompeten dan
kualifikasi tidak sesuai;
5.
PNS pada kuadran 1
dipertahankan, kuadran 2 diberikan diklat atau mutasi, kuadran 3 diberikan
diklat kompetensi, dan kuadran 4 dirasionalisasi.
Selanjutnya berkaitan dengan
poin nomor 3 dan 4 diatas, organisasi perlu melakukan Analisis Beban Kerja
(ABK) dan Analisis Jabatan. Analisis
beban kerja adalah proses untuk menetapkan jumlah jam kerja yang dibutuhkan
untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu, atau dengan kata lain
analisis beban kerja bertujuan untuk menentukan berapa jumlah personalia dan
berapa jumlah tanggung jawab atau beban kerja yang tepat dilimpahkan kepada
seorang pegawai. Analisis ini dilakukan
secara sistematis dengan menggunakan teknik analisis jabatan dan teknik
manajemen lainnya.
Secara umum, ada
tujuh penggunaan analisis
jabatan yaitu sebagai dasar penyusunan formasi
pegawai, rekruitmen pegawai dan penempatan pegawai, penataan pegawai, penyusunan
pola karier, penerapan manajemen kinerja, perencanaan kebutuhan pelatihan dan
pengembangan, serta penyusunan sistem remunerasi berdasarkan bobot jabatan dan
kinerjanya.
Metode dari
analisis beban kerja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu metode daftar
pertanyaan, wawancara, dan pengamatan langsung.
1. Metode daftar pertanyaan, yaitu metode
yang digunakan dengan cara menyusun daftar pertanyaan terbuka yang berisikan
uraian tugas yang berasal dari setiap pegawai/pemegang jabatan yang dilihat
sesuai dengan hasil analisis jabatan. Uraian dari tugas-tugas ini masih bisa
disesuaikan dengan tugas-tugas lain yang berdatangan.
2. Metode wawancara, yaitu metode yang
digunakan untuk mewawancarai setiap pegawai atau pemegang jabatan yang memiliki
tugas pokok dan fungsi tertentu yang dikerjakan oleh setiap individu.
3. Metode pengamatan langsung, yaitu metode
untuk mengamati secara langsung pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seorang
pemegang jabatan.
Gambar 9 menjelaskan konsep penggunaan
analisis jabatan dan analisis beban kerja dalam kaitannya dengan penataan
pegawai, termasuk disalamnya distribusi dan redistribusi pegawai.
F. PENUTUP
Tidak
adanya komposisi ideal antara jumlah PNS dan penduduk diantaranya disebabkan
oleh tidak adanya perencanaan strategis PNS secara nasional, validitas
kebutuhan PNS per instansi berdasarkan beban kerja, dan instansi pemerintah
tidak memiliki standar kompetensi PNS. Manajemen PNS di Indonesia belum
didasarkan proyeksi kebutuhan PNS yang didasarkan pada jumlah penduduk dan
kondisi obyektif kekuatan PNS yang ada, sehingga trend antara pertumbuhan penduduk dan PNS tidak menjadi dasar dalam
pemenuhan kebutuhan PNS. Hasil analisis jabatan yang menghasilkan jumlah
formasi PNS tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan PNS. Hampir mayoritas
instansi pemerintah baik Pusat maupun Daerah belum mempunyai standar kompetensi
PNS, sehingga penempatan PNS menghasilkan ketidak sesuaian antara kualifikasi
pegawai dengan kualifikasi jabatan.
Oleh
sebab itu dibutuhkan kebijakan rasionalisasi PNS, yang melingkupi distribusi
dan redistribusi pegawai dengan memperhitungkan beban kerja, kompleksitas
pelayanan publik, letak geografis, dan jumlah penduduk. Dibutuhkan pula peta kebutuhan PNS nasional
yang mempertimbangkan aspek komposisi dari segi jumlah, kualifikasi, dan
kompetensi PNS.
REFERENSI
[1] Republika. 2018. Mengukur
Redistribusi PNS. Diakses dari https://republika.co.id/berita/koran/podium/
16/11/02/ofzxsf2-mengukur-redistribusi-pns Pada Tanggal 04 November 2018.
[2] Javier
Martinez & Tim Martineau. 2002. Human
Resources in the Health Sector: An International Perspective, London: DFID
Health Systems Resources Centre. Hlm.9.
[3] Jurgita Raudeliuniene. 2013. Analysis of Factors Motivating Human Resources in Public Sector, Lithuania: Social and Behavioral Sciences 110.
[4] Ali Turkyilmaz, dkk. 2011. Emirical Study of Public Sector Employee Loyalty and Satisfaction, Industrial Management & Data Systems Vol. III No. 5, pp. 675-696.
[5] Rama Krishna Gupta Potnuru Chandan Kumar Sahoo , 2016 ,HRD Interventions, Employee Competencies And Organizational Effectiveness: An Empirical Study, European Journal of Training and Development, Vol. 40 Iss 5 pp.
[6] Mihaela Dumitrana, dkk. 2009. Human Resources Management Control, The Annals of the "Ştefan cel Mare" University of Suceava. Fascicle of the Faculty of Economics and Public Administration, Vol. 9, No. 2(10).
[3] Jurgita Raudeliuniene. 2013. Analysis of Factors Motivating Human Resources in Public Sector, Lithuania: Social and Behavioral Sciences 110.
[4] Ali Turkyilmaz, dkk. 2011. Emirical Study of Public Sector Employee Loyalty and Satisfaction, Industrial Management & Data Systems Vol. III No. 5, pp. 675-696.
[5] Rama Krishna Gupta Potnuru Chandan Kumar Sahoo , 2016 ,HRD Interventions, Employee Competencies And Organizational Effectiveness: An Empirical Study, European Journal of Training and Development, Vol. 40 Iss 5 pp.
[6] Mihaela Dumitrana, dkk. 2009. Human Resources Management Control, The Annals of the "Ştefan cel Mare" University of Suceava. Fascicle of the Faculty of Economics and Public Administration, Vol. 9, No. 2(10).
0 komentar:
Post a Comment