Monday, 9 September 2019


KONSEP DASAR DISTRIBUSI DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI DI INDONESIA

Sumber: Pixabay
A.  PENDAHULUAN
Human resource atau Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan ujung tombak pergerakan reformasi birokrasi. Sebagai penggerak atau pihak yang menyelenggarakan nya, tentu Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak terlepas dari implementasi reformasi birokrasi di Indonesia. Reform ASN adalah salah satu upaya pemerintah dalam membangun birokrasi yang dicita-citakan. Sesuai dengan Grand Design Reformasi Birokrasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010, visi reformasi birokrasi yaitu “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia”. Di penghujung tahap Rencana Pemerintah Jangka Menengah ke-4 (2020-2024), perencanaan dan pengimplementasian harus diatur sedemikian rupa agar visi reformasi birokrasi yang disebutkan dalam Grand Design dapat tercapai. Untuk mencapai birokrasi berkelas dunia, dibutuhkan pula ASN yang dapat menunjang visi tersebut.
Semakin banyak jumlah penduduk, beban kerja dan kompleksitas pelayanan akan bertambah. Diperlukan penghitungan kebutuhan PNS secara nasional, baik dari sisi jumlah (kuantitas), kriteria (kualifikasi), dan kompetensi (kualitas). Hal ini untuk mewujudkan kesesuaian kebutuhan PNS disetiap instansi pemerintah agar pelayanan publik lebih efektif. Berbagai kajian tentang manajemen PNS terkait jumlah dan formasi kebutuhan PNS selalu membuktikan bahwa salah satu penyebab inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan karena alokasi/distribusi PNS yang tidak merata, dan tidak terpenuhinya kualitas jabatan dengan kompetensi PNS. Terdapat jumlah PNS yang lebih di satu instansi, sementara di lain instansi kekurangan pegawai. Pemerintah secara matematis belum mempunyai perhitungan past terkait kebutuhan riil PNS nasional untuk melayani penduduk Indonesia.  Tidak adanya peta kebutuhan PNS dalam jangka waktu tertentu 5, 10, atau 20 tahun kedepan, membuktikan tidak adanya perencanaan kebutuhan PNS.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan program rasionalisasi pegawai, yang di dalamnya mencakup distribusi dan redistribusi pegawai.  Distribusi itu sendiri merupakan penempatan pegawai sesuai kebutuhan riil dilihat dari aspek kuantitas, kualitas, komposisi, dan kualifikasi untuk mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi pemerintah.  Selanjutnya, untuk menciptakan rasionalisasi PNS perlu redistribusi dengan pemetaan pada aspek organisasi, kompetensi dan kinerja pegawai, tempat/wilayah dan beban kerja, serta jumlah penduduk sebagai obyek pelayanan publik. Upaya rasionalisasi tersebut dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan dan menciptakan kesesuaian antara pegawai, baik secara kuantitas, kualifikasi, maupun kualitas dengan jenis dan beban pekerjaan.  Artikel ini mencoba memberikan gambaran konsep distribusi dan redistribusi pegawai, beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam implementasinya, serta mekanisme distribusi dan redistribusi pegawai itu sendiri.

B.  DISTRIBUSI DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI
Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan pengertian distribusi dan redistribusi, namun masih dalam konteks aktivitas ekonomi.  Menurut Philip Kotler (1997), distribusi merupakan sekumpulan organisasi yang membuat sebuah proses kegiatan penyaluran suatu barang atau jasa siap untuk di pakai atau di konsumsi oleh para konsumen (pembeli).  Alma (2007) menambahkan, distribusi merupakan sekumpulan lembaga yang saling terhubung antara satu dengan lainnya untuk melakukan kegiatan penyaluran barang atau jasa sehingga tersedia untuk dipergunakan oleh para konsumen (pembeli).  Jadi dapat disimpulkan bahwa distribusi merupakan suatu kegiatan atau suatu proses penyaluran barang atau jasa dari satu atau kumpulan organisasi produsen kepada konsumen. Jika dikaitkan dalam konteks pemerintah, maka yang dimaksud dengan distribusi pegawai adalah suatu proses pemindahan Sumber Daya Manusia atau Pegawai dari lembaga satu ke lembaga lainnya, sehingga pelayanan publik kepada masyarakat dapat tersalurkan secara efektif dan efisien.
Redistribusi pegawai pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses distribusi pegawai.  Sahlin (1976) mendefinisikan redistribusi sebagai pooling, perpindahan barang dan jasa yang tersentralisasi, yang melibatkan proses pengumpulan kembali dari anggota-anggota suatu kelompok melalui pusat, kepada dan pembagian kembali kepada anggota-anggota kelompok tersebut.  Dalam konteks pemerintahan, redistribusi pegawai berarti pemindahan Sumber Daya Manusia atau pegawai dari satu lembaga ke lembaga lain dengan pertimbangan – pertimbangan tertentu. 
Kebijakan distribusi pegawai semakin diperhatikan sejak dikeluarkannya UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Pegawai. Peningkatan nilai belanja PNS dari tahun 2009 hingga 2013 naik sebesar 13,7 persen. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian PAN RB, terdapat 58 kabupaten/kota yang mengalokasikan anggarannya lebih dari 50 persen untuk biaya pegawai.[1] Oleh karena itu, diperlukan redistribusi pegawai untuk menyeimbangkan belanja pegawai tersebut.
Salah satu program nasional reformasi birokrasi nasional adalah penataan jumlah, distribusi dan kualitas Pegawai Negeri Sipil. Melalui penataan pegawai akan memudahkan perencanaan pegawai, yang meliputi rekrutmen, penempatan, pengembangan, pemeliharaan, dan pemberhentian. Berikut ini adalah konsep penataan pegawai.






Distribusi pegawai dapat dilakukan dengan melakukan analis beban kerja dan analis jabatan. Output yang dihasilkan dari penataan ini berupa: (1) Profil jabatan bagi setiap jabatan; (2) Perkiraan beban kerja untuk masing-masing individu, jabatan dan unit kerja; (3) Jumlah kebutuhan pegawai per jabatan dan unit kerja. 
Di negara – negara maju seperti Inggris, pemerintah  dapat melaporkan kekurangan stafnya karena ketidakmampuannya mempertahankan jumlah yang cukup, atau karena kendala keuangan yang disebabkan oleh faktor eksternal, seperti adanya perubahan struktural. Terdapat jumlah staf yang berlebih di daerah perkotaan, sedangkan di daerah yang miskin dan terpencil masih kekurangan staf (Ghana, India, Bangladesh, dan banyak negara miskin). Di sektor swasta, sebagian besar pasar yang menentukan dimana orang bekerja. Dalam sektor publik, kondisi pasar dapat mempengaruhi pegawai jika mereka menambah penghasilan mereka dengan membuka praktik pribadi. Beberapa negara mengatasi kekurangan staf dengan cara menempatkan para lulusan baru ke daerah pedesaan sebagai sistem ikatan dinas (misalnya layanan masyarakat di Afrika Selatan atau dokter muda di India. Akan tetapi, kurangnya pengalaman staf ini menjadikan kerjanya tidak efektif, dan menyebabkan tingginya perputaran staf karena mereka cenderung hanya menghabiskan jumlah waktu minimum di daerah tersebut.[2] 

C.  PENTINGNYA DISTRIBUSI DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI
Isu distribusi dan redistribusi pegawai di Indonesia menjadi isu penting karena dampaknya yang luas bagi manajemen kinerja di Indonesia.  Pentingnya distribusi dan redistribusi pegawai disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pertumbuhan jumlah PNS Pusat dan Daerah yang tidak merata. Distribusi PNS dari 4.455.303 orang, sebanyak 939.995 atau 21 %, bekerja di instansi Pusat dan Kantor Perwakilan, sedangkan 3.586.715 atau 79 % bekerja di instansi Daerah. Komposisi ini menunjukkan perbandingan kurang baik, mengingat jumlah PNS yang bekerja di instansi pusat jumlahnya masih cukup besar yakni mencapai 21 %. Seharusnya di instansi pusat cukup 10 % mengingat tugas fungsinya hanya sebagai pengendali kebijakan, sedangkan tugas utama pelayanan publik ada di instansi daerah.

Gambar 2 menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan jumlah pegawai, baik di level pusat maupun di level daerah.  Lebih lanjut, gambar 3 membuktikan bahwa meskipun sebagian besar pegawai merupakan kelompok pegawai daerah, namun jumlah pegawai di level pusat terus mengalami peningkatan.
 
       Kedua, rasio jumlah PNS dan jumlah penduduk yang tidak merata.  Rasio jumlah PNS terhadap jumlah penduduk saat ini 1,7 %, dimana setiap 100 orang penduduk dilayani oleh 1,7 pegawai (Kementerian PAN dan RB). Hal ini tidak sebanding antara jumlah PNS dan jumlah penduduk dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Brunai, Singapura, dan lain sebagainya. Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2013, rasio jumlah PNS Indonesia terhadap penduduk masih di bawah angka 2 %, yakni 1,7 persen, hal ini tidak sejalan dibanding sejumlah negara tetangga di kawasan Asia Tenggara seperti rasio PNS di Singapura 2,5 persen sedang Malaysia sekitar 3,7 persen (Badan Kepegawaian Negara, 2016).
 Ketiga, komposisi jumlah pegawai yang tidak merata antar-daerah.  Sejak pemberlakuan otonomi daerah yang luas, kewenangan mengatur pegawai negeri sudah diserahkan sepenuhnya kepada daerah.  Akibatnya, terdapat beberapa daerah yang kelebihan jumlah pegawai, dan di sisi lain terdapat beberapa daerah yang kekurangan jumlah pegawai.  Proses redistribusi pegawai dari daerah yang kelebihan pegawai ke daerah yang kekurangan pegawai perlu dilakukan, dengan tetap memperhatikan kepadatan penduduk tiap daerah, jumlah urusan yang harus dijalankan, luas wilayah, serta potensi dan kemampuan keuangan tiap-tiap daerah.  Besarnya jumlah pegawai yang tidak disertai dengan kinerja yang baik selanjutnya berdampak pada pemborosan belanja pegawai.
Pada 2016, setiap PNS di daerah (berstatus PNS Provinsi dan Kabupaten/Kota) rata-rata bertanggung jawab untuk melayani 47 penduduk. Namun, untuk PNS yang berada di Banten, setiap orangnya harus melayani 159 penduduk. Rasio di Jawa Barat dan DKI Jakarta pun cukup besar, yaitu 1:142, artinya setiap PNS bertanggung jawab untuk melayani 142 penduduk.  Di sisi lain, rasio PNS terhadap jumlah penduduk di Riau menunjukkan perbandingan 1:23 pada 2016. Begitu pula di Papua Barat, satu PNS bertanggung jawab melayani hanya 24 penduduk. Ketidakseimbangan rasio ini menjadi indikasi lemahnya perencanaan kebutuhan PNS per wilayah/instansi yang akhirnya akan berujung pada rendahnya mutu layanan kepada masyarakat. Lemahnya perencanaan kebutuhan dan distribusi tenaga PNS, terlihat dari proporsi jumlah pegawai berdasarkan jenis kepegawaian.


Kelima, pengeluaran belanja pegawai yang besar, tidak disertai dengan peningkatan Government Effectiveness Index. Dari seluruh pengeluaran negara, tanggungan terbesar adalah pada belanja pegawai, melebihi belanja modal dan belanja barang/jasa.  Meskipun jumlah pegawai menunjukan tren yang menurun, namun faktanya dari tahun ke tahun pengeluaran belanja pegawa cenderung mengalami peningkatan. Pada 2014, proporsi belanja pegawai pusat terhadap realisasi belanja sebesar 20,4 persen, demikian juga di 2015 sebesar 24 persen, bahkan pada 2016 mencapai 31,3 persen.  Gendutnya anggaran belanja pegawai bisa membuat terhambatnya pembangunan infrastruktur. 
 Tingginya belanja pegawai yang dibebankan pada anggaran negara dan daerah sayangnya tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap Government Effectiveness Index Indonesia.  Bank Indonesia dalam laporannya yaitu The Worldwide Governance Indicators Reports menyatakan bahwa nilai rata-rata indikator efektivitas pemerintahan (Government Effectiveness) Indonesia masuk dalam kategori rendah. Pada 2010, skor Indonesia sebesar -0,20 dan menurun menjadi -0.22 di 2015. Di tingkat ASEAN, pada 2015, skor Indonesia masih kalah jauh dengan Singapura (2,3), Malaysia (1,0), Thailand (0,36) dan Vietnam (0,08).
Keenam, upaya distribusi dan redistribusi pegawai juga menjadi prospek yang baik bagi pemerintah, khususnya terkait dengan pengembangan karir dan kejelasan career accountability.  Berkaitan dengan hal tersebut, Parsons dan Smelser (1956) menggunakan skema AGIL untuk menggambarkan manfaat distribusi dan redistribusi pegawai, yaitu adaptasi (A), pencapaian tujuan (G), integrasi (I) dan pola pemeliharaan dan sistem manajemen talenta (L).

D.  FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM DISTRIBUSI DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam distribusi dan redistribusi pegawai, antara lain sebagai berikut.
1.   Motivasi Pegawai
Peningkatan fungsi manajemen sumber daya manusia di sektor publik merupakan proses yang berkembang secara berkelanjutan. Masyarakat membutuhkan kerja pejabat publik yang efektif dalam memberikan layanan publik. Dibandingkan dengan sektor swasta, efisiensi di sektor pulik dapat dikatakan lebih rendah. Efisiensi tersebut tidak hanya bergantung pada pendidikan, kompetensi dan kemampuan pejabat publik, tetapi sistem motivasi sumber daya manusia memiliki dampak yang signifikan terhadap efektivitas kerja pejabat publik.
Banyak ahli sepakat bahwa salah satu dimensi yang paling penting di sektor publik adalah motivasi pegawai sektor publik. Padersen (2013) berpendapat bahwa motivasi di sektor publik terkait dengan kegiatan pekerja sektor publik, kegiatan dan tanggung jawab organisasi. Padersen menyimpulkan berbagai faktor yang mempengaruhi motivasi pekerja sektor publik, yaitu:
a.   Faktor material: upah, bonus, alokasi, pembayaran sesuai prosedur pemerintahan.
b.   Recognition factor: ucapan terima kasih, penghargaan negara, wewenang lebih banyak, keterlibatan dalam pengambilan keputusan, peluang karir.
c.   Faktor aktualisasi diri: peluang untuk meningkatkan kemampuan secara terus menerus (pelatihan, kursus peningkatan kualifikasi, rotasi, magang)
d.   Faktor sosial: lingkungan psikologis yang baik, gaya kepemimpinan yang sesuai, waktu luang atau acara hiburan, perhatian manajer, kerjasama dalam organisasi
e.   Faktor keamanan: kondisi kerja yang sesuai, jaminan sosial, asuransi.[3]

2.   Kepuasan kerja dan Kesetiaan Pegawai
Organisasi sektor publik saat ini telah menunjukkan peningkatan minat dalam manajemen sumber daya manusia, seperti manajemen kinerja, tunjangan kinerja, evaluasi pegawai, dan kepuasan pegawai. Kepuasan pegawai dapat diartikan sebagai perasaan keseluruhan tentang pekerjaan, atau seperangkat sikap terkait tentang berbagai aspek pekerjaan (Spector, dalam Turkyilmaz, 2011). Kepuasaan pegawai merupakan aspek penting yang mampu memberikan gambaran bentuk pemikiran pegawai tentang pekerjaan dan tempat kerja mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ali Turkyilmaz, dkk (2011), faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan antara lain sebagai berikut:
a.   Pemberdayaan dan partisipasi;
b.   Kondisi lingkungan kerja;
c.   Penghargaan dan pengakuan;
d.   Kerja tim; dan
e.   Pelatihan dan pengembangan individu.
Menurut Allen dan Grisaffe (dalam Turkyilmaz, dkk, 2011), kesetiaan adalah keadaan psikologis hubungan karyawan dengan organisasi tempat mereka bekerja dan berimplikasi pada keputusan mereka untuk tetap bersama organisasi. Kesetiaan pegawai berarti keterikatan seorang pegawai terhadap organisasi yang dapat dianggap sebagai respon emosional, terutama ketika seorang pegawai sangat meyakini tujuan dan nilai organisasi dan memiliki keinginan kuat untuk terus bergabung dengan organisasi tempat bekerja. Kesetiaan bisa didefinisikan sebagai keinginan yang kuat untuk mempertahankan anggota suatu organisasi, menerima dan meyakini nilai dan tujuan organisasi. Dengan demikian, kesetiaan dicirikan oleh keinginan yang kuat untuk melanjutkan keanggotaan suatu organisasi dan terlibat aktif dalam organisasi tersebut. Berdasarkan studi empiris, loyalitas karyawan berkembang dari kepuasan kerja. Kepuasan kerja karyawan memiliki dampak positif terhadap loyalitas pegawai terhadap organisasi (Fletcher dan Williams, 1996). Kepuasan kerja yang rendah menyebabkan loyalitas pegawai terhadap organisasi menjadi rendah, dan meningkatkan perputaran pekerjaan. Pegawai yang puas dengan pekerjaannya mempunyai loyalitas lebih tinggi daripada pegawai dengan kepuasan kerja yang rendah. Hubungan positif antara kepuasan kerja terhadap kesetiaan pegawai dapat dilihat dari gambar berikut ini:[4]
3.   Kompetensi Pegawai
Turner dan Crawford, 1994 (dalam Rama, 2016), mengklasifikasikan kompetensi menjadi dua kategori, yaitu kompetensi karyawan dan kompetensi organisasi. Kompetensi karyawan adalah karakteristik atau ciri-ciri seorang karyawan, seperti pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kepribadian yang membedakan mereka dengan orang lain. Sedangkan kompetensi organisasi adalah apa yang tertanam dalam sistem dan struktur organisasi yang ada di dalam organsiasi. Sejumlah kompetensi penting untuk meningkatkan kinerja dan efektivitas organisasi. Hellriegel and Slocum (2011), menggambarkan tujuh kompetensi utama yang mempengaruhi perilaku individu dan efektivitas organisasi, yaitu: (1) etika karyawan; (2) kompetensi diri; (3) kompetensi keragaman; (4) kompetensi lintas budaya; (5) kompetensi komunikasi; (6) tim kompetensi; dan (7) perubahan kompetensi.[5] Kompetensi pegawai perlu diperhatikan dalam distribusi pegawai karena harus disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Distribusi dan redistribusi pegawai berdasarkan kompetensi sesuai dengan filosofi “The Right Man on the Right Place”, yaitu menempatkan pegawai pada jabatan yang tepat.


4.   Jumlah Penduduk
Untuk memberikan pelayanan masyarakat (public service) yang profesional, dibutuhkan perbandingan obyektif (rasional) antara jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jumlah penduduk sebagai obyek pelayanan. Rasionalisasi PNS dengan jumlah penduduk dilaksanakan guna menciptakan distribusi PNS dan pelayanan publik yang lebih proporsional. Jumlah PNS harus proporsional dengan populasi penduduk dan kemampuan keuangan negara, disisi lain kuantitas memerlukan jumlah PNS yang proporsional dengan memperhatikan jumlah penduduk.

5.   Kompleksitas Pelayanan
Kompleksitas pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif semakin meningkat tiap harinya.  Disamping dibutuhkan pegawai yang professional dan berkompeten, dibutuhkan pula jumlah pegawai yang memadai untuk memenuhi tuntutan tersebut.  Secara umum, semakin kompleks pelayanan yang diberikan, semakin banyak pula pegawai yang dibutuhkan.  Oleh sebab itu, faktor kompleksitas pelayanan menjadi salah satu faktor penting dalam proses distribusi dan redistribusi pegawai.

E.  MEKANISME DALAM DISTRIBUSI DAN REDISTRIBUSI PEGAWAI
Proses distribusi dan redistribusi pegawai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM) organisasi. Perencanaan SDM itu sendiri adalah proses untuk mengembangkan keselarasan antara strategi organisasi dengan orang-orang yang akan dipekerjakannya, yang diawali dengan proses rekruitmen.  Rekruitmen dilaksanakan untuk menarik orang-orang yang mempunyai kualifikasi terbaik untuk melamar pekerjaan dan juga untuk memotivasi orang untuk memenuhi misi organisasi. Proses rekrutmen diakhiri dengan mendapatkan orang yang mempunyai kualitas sesuai kualifikasi.
Perencanaan SDM merupakan bagian awal proses rekrutmen yang penting untuk mengidentifikasi perbedaan antara angka perkiraan dan angka riil. Perencanaan dan perekrutan dibagi menjadi dua kategori, yaitu (1) indikator tentang jabatan dan kebutuhan pegawai untuk tiap jabatan, serta (2) indikator tentang aktivitas. Tabel 1 menyajikan indikator pertama dari perencanaan dan perekrutan SDM.
 Sedangkan indikator kedua yaitu tentang aktivitas pekerjaan, harus berisi informasi tentang pengeluaran dalam kegiatan ini dan perhitungan perbedaan biaya, seperti:
1.   Total biaya aktivitas
2.   Jumlah karyawan
3.   Gaji karyawan
4.   Gaji rata-rata
5.   Jumlah wawancara
6.   Jumlah rekruitmen
7.   Biaya rata-rata untuk perekrutan (total biaya aktivitas / jumlah perekrutan)
8.   Tingkat cakupan personil yang diperlukan
9.   Jumlah pegawai yang tidak sesuai dengan kualifikasi jabatan[6]
Berkaitan dengan kebijakan distribusi dan redistribusi pegawai, pemerintah melalui Kementerian PAN-RB pada dasarnya telah merumuskan beberapa tahapannya, antara lain:
1.   Audit organisasi, untuk mengetahui instansi mana yang efisien dipertahankan, kurang efisien digabung, dan tidak efisien dibubarkan, sehingga diperoleh data kebutuhan PNS;
2.   Pemetaan kompetensi, kualifikasi, dan kinerja pegawai, untuk mengetahui tingkatan kompetensi, kualifikasi, kinerja masing-masing PNS;
3.   Menyusun dan menetapkan peta kuadran (1, 2, 3, 4), tujuannya untuk membedakan tingkat kompetensi, kualifikasi, kinerja masing-masing PNS;
4.   Mengisi data PNS pada masing-masing kuadran dengan kriteria; kuadran 1 PNS kompeten dan kualifikasi sesuai; kuadran 2 PNS kompeten namun kualifikasi tidak sesuai; kuadran 3 PNS tidak kompeten namun kualifikasi sesuai; kuadran 4 PNS tidak kompeten dan kualifikasi tidak sesuai;
5.   PNS pada kuadran 1 dipertahankan, kuadran 2 diberikan diklat atau mutasi, kuadran 3 diberikan diklat kompetensi, dan kuadran 4 dirasionalisasi.
Selanjutnya berkaitan dengan poin nomor 3 dan 4 diatas, organisasi perlu melakukan Analisis Beban Kerja (ABK) dan Analisis Jabatan.  Analisis beban kerja adalah proses untuk menetapkan jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu, atau dengan kata lain analisis beban kerja bertujuan untuk menentukan berapa jumlah personalia dan berapa jumlah tanggung jawab atau beban kerja yang tepat dilimpahkan kepada seorang pegawai.  Analisis ini dilakukan secara sistematis dengan menggunakan teknik analisis jabatan dan teknik manajemen lainnya.
Secara umum, ada tujuh penggunaan analisis jabatan yaitu sebagai dasar penyusunan formasi pegawai, rekruitmen pegawai dan penempatan pegawai, penataan pegawai, penyusunan pola karier, penerapan manajemen kinerja, perencanaan kebutuhan pelatihan dan pengembangan, serta penyusunan sistem remunerasi berdasarkan bobot jabatan dan kinerjanya.
Metode dari analisis beban kerja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu metode daftar pertanyaan, wawancara, dan pengamatan langsung.
1.   Metode daftar pertanyaan, yaitu metode yang digunakan dengan cara menyusun daftar pertanyaan terbuka yang berisikan uraian tugas yang berasal dari setiap pegawai/pemegang jabatan yang dilihat sesuai dengan hasil analisis jabatan. Uraian dari tugas-tugas ini masih bisa disesuaikan dengan tugas-tugas lain yang berdatangan.
2.   Metode wawancara, yaitu metode yang digunakan untuk mewawancarai setiap pegawai atau pemegang jabatan yang memiliki tugas pokok dan fungsi tertentu yang dikerjakan oleh setiap individu.
3.   Metode pengamatan langsung, yaitu metode untuk mengamati secara langsung pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seorang pemegang jabatan.
Gambar 9 menjelaskan konsep penggunaan analisis jabatan dan analisis beban kerja dalam kaitannya dengan penataan pegawai, termasuk disalamnya distribusi dan redistribusi pegawai.
 F.  PENUTUP
Tidak adanya komposisi ideal antara jumlah PNS dan penduduk diantaranya disebabkan oleh tidak adanya perencanaan strategis PNS secara nasional, validitas kebutuhan PNS per instansi berdasarkan beban kerja, dan instansi pemerintah tidak memiliki standar kompetensi PNS. Manajemen PNS di Indonesia belum didasarkan proyeksi kebutuhan PNS yang didasarkan pada jumlah penduduk dan kondisi obyektif kekuatan PNS yang ada, sehingga trend antara pertumbuhan penduduk dan PNS tidak menjadi dasar dalam pemenuhan kebutuhan PNS. Hasil analisis jabatan yang menghasilkan jumlah formasi PNS tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan PNS. Hampir mayoritas instansi pemerintah baik Pusat maupun Daerah belum mempunyai standar kompetensi PNS, sehingga penempatan PNS menghasilkan ketidak sesuaian antara kualifikasi pegawai dengan kualifikasi jabatan.
Oleh sebab itu dibutuhkan kebijakan rasionalisasi PNS, yang melingkupi distribusi dan redistribusi pegawai dengan memperhitungkan beban kerja, kompleksitas pelayanan publik, letak geografis, dan jumlah penduduk.  Dibutuhkan pula peta kebutuhan PNS nasional yang mempertimbangkan aspek komposisi dari segi jumlah, kualifikasi, dan kompetensi PNS.

REFERENSI
[1] Republika. 2018. Mengukur Redistribusi PNS. Diakses dari https://republika.co.id/berita/koran/podium/ 16/11/02/ofzxsf2-mengukur-redistribusi-pns Pada Tanggal 04 November 2018.  
[2] Javier Martinez & Tim Martineau. 2002. Human Resources in the Health Sector: An International Perspective, London: DFID Health Systems Resources Centre. Hlm.9.  
[3] Jurgita Raudeliuniene. 2013. Analysis of Factors Motivating Human Resources in Public Sector, Lithuania: Social and Behavioral Sciences 110.  
[4] Ali Turkyilmaz, dkk. 2011.  Emirical Study of Public Sector Employee Loyalty and Satisfaction, Industrial Management & Data Systems Vol. III No. 5, pp. 675-696.  
[5] Rama Krishna Gupta Potnuru Chandan Kumar Sahoo , 2016 ,HRD Interventions, Employee Competencies And Organizational Effectiveness: An Empirical Study, European Journal of Training and Development, Vol. 40 Iss 5 pp.  
[6] Mihaela Dumitrana, dkk. 2009. Human Resources Management Control, The Annals of the "Ştefan cel Mare" University of Suceava. Fascicle of the Faculty of Economics and Public Administration, Vol. 9, No. 2(10).

0 komentar:

Post a Comment