Thursday, 22 December 2016



SISTEM AKUNTABILITAS DI INDONESIA
(Rencana dan Realita Penerapan Akuntabilitas di Indonesia)



 Nilai akuntabilitas sangat penting diadopsi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa eksistensi atau keberadaan sebuah negara, tergantung pada masyarakatnya.  Dengan kata lain, negara ada karena masyarakatnya. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memberikan pelayanan dengan baik dan bertanggung jawab.Akuntabilitas itu sendiri menurut Mardiasmo (2006:3)[i] diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelasanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik.

Semakin kompleks dan berkembangnya kebutuhan masyarakat sekarang ini, menjadikan penyelenggaraan pelayanan publik tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga melibatkan sektor swasta di dalamnya. Namun dalam pembahasan kali ini, akuntabilitas yang dimaksud adalah akuntabilitas kinerja pemerintah (instansi) sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam rangka menjamin akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, telah dikembangkan sistem pertanggungjawaban yang jelas, tepat, teratur, dan efektif yang dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) berbasis kinerja. SAKIP tersebut kemudian diterapkan melalui pembuatan target kinerja serta indikator kinerja yang menggambarkan keberhasilan.[ii]
Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah merupakan suatu tatanan, instrumen, dan metode pertanggungjawaban yang intinya meliputi tahap-tahap sebagai berikut[iii]:
1. Penetapan perencanaan stratejik, perencanaan kinerja, dan penetapan rencana kerja, meliputi pembuatan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, dan program. Pada tahap inilah, instansi pemerintah menghasilkan rencana kerja jangka menengah lima tahunan (RPJM/RPJMD) yang kemudian diturunkan menjadi rencana kinerja tahunan (RKP/RKPD), rencana anggrannya (RKA), SOP, dan lain sebagainya.
2. Pengukuran kinerja, meliputi pengukuran indikator kinerja, pengumpulan data kinerja, membandingkan realisasi dengan recana kerja, kinerja tahun sebelumnya, atau membandingkan dengan organisasi lain sejenis yang terbaik di bidangnya.
3. Pelaporan kinerja, berupa pembuatan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi             Pemerintahan (LAKIP) dengan format standar laporan yang telah ditetapkan (rinci dengan berbagai indikator, bukti, dan capaiannya)
4. Pemanfaatan informasi kinerja untuk perbaikan kinerja berikutnya secara                    berkesinambungan.
Pada dasarnya, penerapan Sistem AKIP bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab dan bebas dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Artinya, SAKIP merupakan salah satu instrument dalam mewujudkan konsep good governance. Walaupun aparat pemerintah telah cukup memahami perubahan yang dikehendaki dari sistem ini, ternyata yang menjadi persoalan besar adalah adanya kesenjangan yang luar biasa antara pemahaman tersebut dengan kemauan untuk berubah. Isu good governance di kalangan pemerintah sudah mengemuka, akan tetapi dalam praktiknya masih menghadapi banyak resistensi.
Memang benar bahwa dalam memberikan pelayanan publik, nilai-nilai publik seperti efektivitas, efisiensi, transparansi, equity, maupun akuntabilitas itu sendiri dituntut untuk terakomodasi dengan baik. Namun dalam prakteknya, konflik antara nilai publik satu dengan nilai publik lainnya (value conflict) seringkali terjadi. Oleh karena itu, tidak heran bahwa trade-off nilai dalam kebijakan publik merupakan sebuah kenyataan yang sulit untuk dihindari dalam proses penyelenggaraan pelayanan.[iv]
Akuntabilitas kemudian hanya dipahami sebagai aturan rigid dan prosedural yang mau tidak mau harus dipenuhi aparat pemerintah. Secara otomatis, segala tindakan pelayanan yang dilakukan kemudian menjadi berbasis aturan (rule driven), terkesan sekedar untuk memenuhi aturan administratif dan sering kali mengabaikan faktor humanis (memanusiakan manusia). Peraturan rigid memang baik diterapkan, namun yang menjadi permasalahan adalah ketika peraturan tersebut justru jauh dari tujuan awalnya, yaitu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Sebagai contoh, mahasiswa yang ingin mengurus surat izin penelitian harus melewati beberapa instasi untuk memperolehnya. Konflik nilai antara nilai akuntabilitas dengan efisiensi menjadi jelas terlihat. Di satu sisi, pemerintah ingin memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengurus berbagai surat izin (efisiensi), namun di sisi lain, tuntutan peraturan dan administrasi (sebagai tolak ukur menilai akuntabilitas) tetap tidak dapat dihindari.
Solusi yang kemudian dapat diambil untuk menghadapi situasi yang dilematis ini salah satunya adalah dengan memperhatikan faktor manusia yang menjalankan dan kesempatan atau akses yang memungkinkan manusia untuk menjalankannya. Manusia dalam tatanan birokrasi harus didorong untuk memiliki motivasi dan kemauan (willingness), serta bekal kemampuan untuk melaksanakannya. Teori mengatakan bahwa kemauan, kemampuan, dan kesempatan untuk melaksanakannya memainkan peran penting dalam mencapai tujuan dan kinerja (Blumberg & Pringle, 1982 dalam Keban, 2010)[v].
Pemimpin organisasi memiliki peranan penting dalam mewujudkan tiga faktor tersebut. Pemimpin tidak boleh hanya tinggal diam. Disamping harus memiliki kepandaian dan pengetahuan yang memadai, pemimpin juga harus mampu memanfaatkan otoritasnya untuk memaksakan pelaksanaan kebijakan secara konsisten dan berkesinambungan.  Oleh sebab itu, capacity building bagi pemimpin harus terlebih dahulu diutamakan. Setiap pemimpin dituntut untuk mengimplementasikan janjinya dan menyatakan siap mundur apabila gagal melaksanakannya. Dengan posisi yang sangat strategis ini, para pemimpin akan menjadi penentu keberhasilan perubahan dalam organisasi dalam rangka mewujudkan akuntabilitas.



[i]   Mardiasmo. 2006. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 
[ii] Wakhyudi. 2007. Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan-Badan Pengawasan          Keuangan dan Pembangunan Daerah.
[iii] Ibid 
[iv] Gjalt De Graaf, Leo Huberts, dan Remco Smulders. 2014. Coping with Public Value Conflicts. Administration & Society 1-7. 
[v]  Keban, Yeremias T. 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gava Media.

0 komentar:

Post a Comment