Monday, 23 January 2017



MENDORONG KAPASITAS USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)


Asean Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN) merupakan bentuk interaksi ekonomi ASEAN yang direncanakan akan tercapai pada tahun 2015. Wacana ini memungkinkan ASEAN akan menjadi pasar tunggal berbasis produksi tunggal, dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan komunikasi yang bebas dan terbuka. Terbentuknya komunitas tunggal yang bebas tersebut menimbulkan berbagai dampak bagi bangsa Indonesia yaitu peluang sekaligus ancaman bagi perekonomian bangsa. Bila tidak dikelola dengan baik, perdagangan bebas akan berimbas pada melemahnya sektor ekonomi lokal di Indonesia. Namun jika didukung dengan persiapan dan pertahanan ekonomi yang matang, komunitas ASEAN dapat memberikan akses pasar yang lebih luas bagi produk-produk di Indonesia.

Salah satu sektor yang akan terkena dampak langsung dari adanya AEC ini adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, UMKM merupakan jenis usaha dengan skala paling besar di Indonesia, yaitu sebanyak 52 jenis usaha atau 99,85% dari total unit usaha di Indonesia. UMKM juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi 97,24% tenaga kerja Indonesia dari total 76,54 juta pekerja serta menyumbang 58,05% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, sektor UMKM juga mampu menyediakan sekitar 57% kebutuhan barang dan jasa, 16,4% kontribusinya terhadap ekspor serta kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi (Kementerian Koperasi dan UKM, 2012). Di satu sisi, UMKM merupakan jenis usaha yang sangat tangguh, terbukti dengan kemampuaannya bertahan bahkan dalam kondisi krisis sekalipun. Di sisi lain, fakta menunjukan bahwa banyak UMKM di Indonesia yang kalah saing dengan produk-produk asing, termasuk produk negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, wacana AEC menjadi ancaman sekaligus peluang besar bagi UMKM di Indonesia.


 INDONESIA DALAM ASEAN
Berkaitan dengan AEC, posisi perdagangan Indonesia berada pada tahap medium dan menempati posisi middle classdibandingkan negara ASEAN lainnya, baik dilihat dari posisi perdagangan, daya saing, maupun IPM masing-masing negara-negara ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa dengan dibukanya AEC, menjadi peluang sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan competitiveness advantage dibanding negara ASEAN lainnya.
UMKM DALAM MENGHADAPI AEC 2015
Hasil riset mengenai kesiapan UKM dalam menghadapi MEA 2015 yang dilakukan oleh ASEAN Studies Center FISIPOL UGM tahun 2014 memaparkan berbagai masalah yang dihadapi UKM di DI Yogyakarta dalam menghadapi AEC 2015. Permasalahan tersebut, antara lain: (1) sebanyak 91% UKM di DIY tidak berbadan hokum; (2) orientasi pasar masih berfokus pada pasar domestik (94%), sedangkan yang berorientasi eksport dan berorientasi domestik juga eksport berturut-turut 1% dan 5%; (3) sebanyak 63% UKM tidak memiliki izin usaha; (4) mayoritas dari pelaku UKM menyatakan bahwa modal tidak cukup dan kesulitan mengakses kredit usaha; (5) pelaku UKM masih memanfaatkan pembiyayaan internal dibandingkan institusi dari luar; (6) sebanyak 60% UKM DIY tidak pernah melakukan inovasi (perluasan segmen pasar/diferensiasi produk); (7) sebanyak 60% UKM DIY menggunakan cara konvensional dalam mempromosikan produknya (dari mulut ke mulut, toko sendiri, reseller); (8) sebanyak 54% UKM DIY belum tersertifikasi dan sebanyak 28,2% belum mencantumkan label apapun dalam produknya.

Berkaitan dengan AEC 2015, sebanyak 65% UKM DIY pernah mendengar tentang ASEAN, namun 70% diantaranya belum pernah mendengar tentang AEC. Sebagian pelaku UKM yang mengetahui AEC memahaminya sekedar sebagai perdagangan bebas, tanpa memahami dengan baik adanya peluang dan tantangan dari diterapkannya AEC 2015. Dari segi peluang, UKM DIY melihat AEC sebagai kesempatan menambah keuntungan, perluasan pasar dan masuknya investor, belum melihat AEC sebagai berkurangnya hambatan tarif. Dari segi tantangan, UKM DIY memandang bahwa dibukanya AEC mengharuskan UKM untuk melakukan standarisasi produk, mengetahui mekanisme ekspor, dan memunculkan kompetitor baru. Akan tetapi 53% dari mereka tidak menyadari adanya perubahan selera konsumen. Selain itu, sebanyak 67% UKM DIY tidak melakukan persiapan apapun untuk menghadapi AEC 2015. Hasil penelitian UKM di DI Yogyakarta tersebut dapat menjadi miniature study case permasalahan UMKM di Indonesia.

REKOMENDASI

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa meskipun berbagai permasalahan di UMKM kerap terjadi, namun UMKM di Indonesia tetap memiliki peluang yang besar dengan dibukanya AEC 2015. Kondisi yang demikian mengharuskan pemerintah sebagai pembuat kebijakan sekaligus penyedia pelayanan berperan aktif merumuskan kebijakan guna mengatasi berbagai permasalahan UMKM dan mendorong kapasitas UMKM dalam menghadapi AEC 2015. Beberapa strategi yang perlu dilakukan, antara lain:

  1. Memperluas jangkauan sosialisasi tentang AEC dengan memperbanyak bentuk media informasi. Kurangnya pemahaman pelaku UMKM dalam menghadapi AEC menjadi masalah utama. Memperluas sosialisasi mengenai AEC perlu dilakukan secara masif melalui  berbagai media. Hal ini dapat dilakukan dengan memasang baliho mengenai AEC di lokasi-lokasi strategis, secara massif menerbitkan iklan mengenai kehadiran AEC di media cetak (majalah, Koran, artikel) maupun elektronik (sosial media, radio dan televisi), dan secara periodik mengirimkan sms massal kepada masyarakat mengenai AEC dan himbauan - himbauan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapinya.
  2. Mengoptimalkan partisipasi akademisi dalam mendorong kapasitas UMKM di  Indonesia. Peran yang dapat dilakukan akademisi, antara lain: (a) mengembangkan ide kreatif dan inovatif bagi produk-produk UMKM. Tingkat pengetahuan dan keterampilan akademisi yang dianggap lebih baik mampu menciptakan diferensiasi produk-produk UMKM yang kreatif dan kompetitif di pasar regional maupun internasional; (b) penelitian dan pengembangan teknologi dalam mendukung produktivitas produk-produk UMKM, serta penelitian dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi sebagai bagian dari strategi pemasaran produk-produk UMKM; (c) pendampingan terhadap pelaku UMKM mengenai tata cara administrasi yang baik, tata cara memperoleh modal usaha, strategi meningkatkan produktivitas dan unit usaha baru berbasis pengetahuan dan teknologi, pengembangan ragam produk-produk unggulan UMKM sesuai dengan potensi daerah, dan strategi pemasaran produk-produk UMKM sehingga mampu menjangkau pasar internasional.
  3. Kebijakan dukungan penguatan bagi UMKM di Indonesia. Pembuatan kebijakan untuk mempermudah, memperlancar, dan memperluas akses UMKM terhadap sumber daya produktif agar mampu meningkatkan skala usahanya. Kebijakan ini dapat berupa penyediaan lembaga pendukung atau penyedia jasa pengembangan usaha untuk meningkatkan akses UMKM terhadap pasar dan sumber daya produktif (sumber daya manusia, permodalan, pasar, manajemen, teknologi, dan informasi, insentif usaha), peningkatan fungsi intermediasi lembaga-lembaga keuangan, serta peningkatan jangkauan lembaga keuangan bagi UMK.
REFERENSI 

ASEAN Studies Center FISIPOL UGM. 2014. Hasil riset mengenai Kesiapan UKM dalam menghadapi MEA 2015. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.  
UNICOMTRADE. 2013. Perdagangan antar ASEAN. dari http://ditjenkpi.kemendag.go.id pada 20 Januari 2017.
United Nation Development Program (UNDP). 2013. Human Development Index ASEAN. Diakses dari http:// UNDP. org pada 3 April 2015. 
Word Economic Forum. Perkembangan Perekonomian Triwulanan Indonesia: Menyoroti Kebijakan. Database Desember 2012.
 


0 komentar:

Post a Comment